Negara Pakistan mulai menjadi tujuan utama ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia.  Negara ini dapat menjadi alternatif tujuan ekspor, di tenga menurunnya ekspor ke sejumlah negara utama tujuan eskpor produk turunan komoditas kelapa sawit ini.

“Pada November 2018 misalnya, Pakistan mencatatkan rekor tertinggi pembelian minyak sawit terbanyak sepanjang sejarah perdagangan minyak sawit Indonesia dan Pakistan yaitu sebesar 326,41 ribu ton atau naik 32 persen dibandingkan bulan sebelumnya dengan volume 246,97 ribu ton,” ungkap Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono, kemarin.

Analisinya, kenaikan impor CPO yang dilakukan oleh negara tersebut, lantaran harga CPO yang murah dan kebutuhan negara tersebut guna memastikan stok minyak nabati aman. Indonesia pun menurutnya semakin optimistis, akan ada peningkatan ekspor ke negara tersebut. Terlebih dengan semakin luasnya Preferential Trade Agreement (PTA) antara Indonesia dan Pakistan.

“Saat ini juga sedang dijajaki untuk ditingkatkan menjadi perdagangan bebas, maka peluang Indonesia untuk terus meningkatkan perdagangan minyak sawit akan semakin besar,” tuturnya.

Pakistan, kata dia, memiliki penduduk yang banyak dan CPO merupakan salah satu minyak utama yang digunakan dalam produk makanan, rumah tangga dan industri lainnya. Karena itu, sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk mempercepat proses pemberlakuan PTA yang telah ditinjau bersama, serta mengakselerasi PTA menjadi FTA (Free Trade Agreement). 

Selain Pakistan, Gapki juga mencatat beberapa negara lain yang mengalami kenaikan impor CPO dari Indonesia, yakni negara-negara Timur Tengah dan India. Negara di Timur Tengah, menurut data Gapki, pada November 2018, membukukan kenaikan impor CPO dari Indonesia sebesar 31 persen, yang mana dari 120.20 ribu ton naik menjadi 157,81 ribu ton. Sedangkan India mengalami kenaikan tipis sebesar, 3 persen, dari 689.17 ribu ton naik menjadi 711,31 ribu ton.

Sementara itu, beberapa negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia justru mengalami penurunan. Gapki mencatat, ekspor ke China turun 20 persen, Negara Uni Eropa 21 persen, Amerlka Serikat 10 persen dan Bangladesh 58 persen. “Penurunan impor dari negara negara ini disebabkan masih tingginya stok minyak nabati di dalam negeri,” ucapnya.

Di sisi produksi. Data terakhir pada November 2018, produksi CPO diperkirakan mencapai 4,16 juta ton atau turun sekitar delapan persen dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 4,51 juta ton. Mukti menganalisis, siklus produksi tersebut merupakan siklus normal yang sudah mulai melewati musim panen raya. “Turunannya produksi dan ekspor serta mulai tingginya penyerapan domestik mengikis stok minyak sawit Indonesia menjadi kira kira 3,89 juta ton,” jelasnya.

Di sisi harga, Gapki mencatat, sepanjang November 2018 harga bergerak dikisaran USS 440 USS 512,50 per metrik ton, dengan harga rata rata USS 473,6 per metrik ton. Respon terhadap harga yang jatuh sudah pada titik nadir ini, kata dia, membuat pemerintah mengambil kebijakan untuk menghapus  pungutan ekspor (CPO Fund). “Diharapkan dengan penghapusan CPO Fund ini, dapat mendongkrak ekspor dan harga CPO global serta harga TBS petani,” pungkasnya. 

Sumber: Pontianakpost.co.id