JAKARTA. Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) memperkirakan kebutuhan minyak nabati dunia bertambah rata-rata 3% per tahun. Jika pada tahun 2016 kebutuhan minyak nabati dunia mencapai 200 juta ton, maka pada tahun 2017 bisa mencapai 206 juta ton.

Tingginya kebutuhan minyak nabati ini menjadi peluang besar bagi Indonesia sebagai produsen terbesar crude palm oil (CPO) dunia Sebab sekitar 70 juta ton dari total kebutuhan minyak nabati dan hewani dunia ini berasal dari produk turunan CPO. Artinya kalau ada kenaikan permintaan 3% per tahun, ada kenaikan permintaan minyak nabati dunia di pasar global sekitar 2,1 juta ton per tahun.

Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengatakan, pemerintah sebaiknya fokus memproduksi minyak nabati ketimbang memproduksi biodiesel. Sebab saat ini, produk biodiesel dikenakan Bea Masuk (BM) yang tinggi di Uni

Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang selama menjadi pasar terbesar biodiesel. “Saya kira pasar untuk minyak nabati mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa waktu ke depan,” ujarnya, Senin (6/11).

Selain mengorbankan produk biodiesel untuk menjadi minyak nabati, pengembangan produk sawit untuk kebutuhan makanan akan menjadi solusi yang lebih baik di tengah moratorium pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit. Sebab permintaan terhadap produk CPO dan turunnya ke depan akan terus bertambah, sementara perkebunan sawit tetap stagnan. “Kalau terjadi kebutuhan pe- sat sedangkan ekspansi tidak bisa, biodiesel haras dikorbankan,” terang Sahat.

Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Paulus Tjakrawan menilai, pengembangan produk biodiesel tetap diperlukan, apalagi penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dari AS tidak berdampak signifikan. “Biodisel Indonesia sekarang dialihkan ke negara lain seperti China dan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” ujarnya.

Pengamat perkebunan Gamal Nasir menambahkan, kampanye negatif terhadap produk biodiesel dari sawit membuat ekspor menjadi sulit. Untuk itu ia menyarankan agar produsen biodiesel memenuhi pasar domestik. “Produksi turunan minyak sawit banyak dan memungkinkan untuk beralih ke produk lain,” jelas Gamal.

 

Sumber: Harian Kontan