Indonesia tidak bisa terpaku kepada pasar sawit tradisional seperti Eropa. Masih banyak negara di kawasan lain yang butuh minyak sawit untuk kebutuhan pangan dan energi.
Setidaknya ada dua poin yang disampaikan pihak Asian Agri pada bulan lalu. Poin pertama disampaikan oleh Director Corporate Affair Asian Agri, Fadhil Hasan. Pada kesempatan itu, Fadhil Hasan menjelaskan perjalanan industri sawit Indonesia yang mendapatkan apresiasi dari pelaku sawit di Benua Afrika. Sebagian besar memuji tata kelola perkebunan sawit yang memasuki praktik berkelanjutan dan berkontribusi bagi perekonomian nasional.
Hal ini diungkapkan Direktur Corporate Affairs Asian Agri, Fadhil Hasan dalam 6th Africa Oil Palm & Rubber Summit, pada 8–9 Mei 2019, di Abidjan, Nigeria. Menurutnya, Indonesia menciptakan kebijakan yang membuat perkebunan sawit di berjalan bagus, baik dikelola petani dan perusahaan perkebunan.
“Afrika ingin belajar dari Indonesia untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit,” cerita Fadhil saat acara buka puasa bersama dengan Jurnalis di Jakarta, Selasa (28 Mei 2019).
Fadhil juga menceritakan pengalaman Asian Agri dalam mengelola perkebunan sawit dalam konteks kemitraan dengan petani, program Biodiesel. Dijelaskan pula masalah pembiayaan dan memiliki pengalaman yang cukup lengkap dalam hal pengelolaan perkebunan sawit.
Selanjutnya, Fadhil menambahkan dalam hal pembiayaan, dulu, kita punya kredit likuiditas Bank Indonesia. Model pembiayaan ini bunganya di bawah bunga pasar yang diperuntukkan kalangan menengah, perusahaan maupun koperasi. Ada pula skema pembiayaan antara perusahaan dengan petani maupun skema pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).
Seperti diketahui, Asian Agri merupakan perusahaan perkebunan swasta nasional yang memproduksi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) sejak 1979. Hingga kini, mengelola 100.000 hektar kebun kelapa sawit yang mempekerjakan 25.000 orang.
Perusahaan ini, juga diketahui sebagai perintis Pemerintah Indonesia Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi (PIR-Trans), yang bermitra dengan 30.000 petani plasma di Riau dan Jambi yang mengelola 60.000 hektar kebun kelapa sawit serta membina kemitraan dengan petani swadaya untuk membawa dampak positif terhadap kesejahteraan dan peningkatan ekonomi petani.
Selain itu, Asian Agri juga menerapkan kebijakan tanpa bakar dan praktik pengelolaan kebun secara berkelanjutan. Selain itu, membantu petani mitra untuk meningkatkan produktivitas hasil panen, kemamputelusuran rantai pasok serta mendukung memperoleh sertifikasi.
Fadhil menjelaskan industri sawit Indonesia dapat berkembang lebih baik dari Afrika, karena Afrika terhambat masalah kondisi ekonomi makro, politik dan daya beli masyarakatnya. Kondisi politik Afrika belum stabil sehingga mengganggu iklim investasi. Dan, yang tidak kalah untuk dipahami yaitu orang Afrika malas bekerja.
“Saya dapatkan informasi dari perusahaan yang berinvestasi di Afrika. Pemikirannya sangat short term, sehingga sulit untuk meningkatkan produktivitas. Bahkan, beberapa perusahaan dari Singapura banyak memperkerjakan orang dari Indonesia, kurang lebih ada 2.000 – 3.000 orang. Jadi ini yang menghambat perkebunan sawit berkembang di Afrika,”tambah Fadhil.
Di Afrika, lanjut Fadil perkebunan sawit juga dikelola seperti di Indonesia, yaitu dikelola oleh petani dan perusahaan skala besar tetapi yang membedakan petani dan perusahaan berjalan masing-masing.
Sumber: Sawitindonesia.com