RUU SDA mencakup 15 bab dengan 78 Pasal, dengan penekanan pada larangan pengusahaan air yang mengganggu dan meniadakan hak rakyat, kewajiban negara dalam memenuhi/ menjamin hak rakyat atas kebutuhan air, hingga pemberian izin terhadap swasta dengan syarat ketat.

Bagi sebagian besar industri, air adalah salah satu hajat hidupnya. Di industri tekstil, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat penggunaan air sebagai bahan baku dalam produksi kain jadi mencapai 62,7 mular liter per tahun.

Diperkirakan, pabrikan kain perlu mengucurkan Rp31,3 miliar untuk mengelola air. “Pemerintah harus hati-hati. Jangan sampai [RUU] mematikan industri,” ujar Sekretaris Jenderal API Ernovian G. Ismy, Rabu (24/7).

Menurutnya, permasalahan RUU SDA berasal dari generalisasi penggunaan air. Semestinya, peruntukan air dipisahkan antara sektor publik dan sektor industri. Selain itu, adanya pasal penyisihan 10% laba yang dimasukkan ke bank garasi untuk konservasi air yang menyulitkan industri kain untuk berkembang.

Padahal, sektor tekstil telah sepakat membangun industri kain lokal. Sebelumnya industri garmen memilih bergantung pada kain impor sehingga hasil benang lokal tidak terserap di industri kain yang terdesak produk impor.

Namun, jika pasal-pasal pada RUU SDA itu menghambat industri kain maka industri garmen kembali bergantung pada kain impor. “Kalau masalah air dihajar lagi, ya makin kurang [produksi kain]. Akhirnya [industri garmen) mengimpor [kain] lagi.”

Ernovian menyarankan agar pengelolaan air bersih dan izin pengelolaan air industri diterbitkan oleh pemerintah. Sebab, BUMN atau BUMD dikhawatirkan menetapkan margin pada pengelolaan air. Alhasil, biayanya pun bertambah.

Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyampaikan, aturan yang multitafsir dapat menciptakan premanisme pada industri. Akhirnya, minyak nabati tidak kompetitif di pasar global.

Sahat mengimbau para legislator dan pemangku kepentingan agar mencari perbandingan peraturan serupa di negara lain.

Air juga menjadi bahan baku pada dua sektor minyak nabati, yakni pengolahan tandan buah segar menjadi minyak sawit mentah (CPO), dan penurunan asam lemak bebas pada penyulingan industri oleokimia dan pengolahan biodiesel.

Asosiasi Perusahaan Air Dalam Kemasan (Aspadin) menyoroti penyamaan air pipa dan air minum dalam kemasan (AMDK) yang dinilai kekeliruan jika tujuannya menghadirkan ketersediaan air minum bagi masyarakat.

“Pasalnya, harus ada tambahan 1-2 triliun liter air minum untuk memenuhi ketersediaan air minum, sedangkan industri AMDK hanya menyerap 30 miliar liter per tahun,” ujar Ketua Umum Aspadin Rachmat Hidayat.

Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2012 menunjukkan air yang dikonsumsi oleh rumah tangga adalah 6,4 triliun liter per tahun. Adapun, industri AMDK hanya menggunakan 0,06% atau 18 miliar liter air dari total kebutuhan industri 27,7 triliun liter per tahun.

“Di negara-negara yang [ideologinya] ekstrem kiri itu pakai swasta [pemenuhan air bersihnya]. AMDK kan produk lifestyle. Masa cebok pakai ini [AMDK] juga,” ujarnya, Selasa (23/7).

Rachmat mengingatkan, pelolosan beleid tersebut akan membunuh industri AMDK lantaran ada pasal yang menyebutkan bahwa izin pengelolaan air tidak diterbitkan lagi. Selain itu, industri AMDK juga akan dinasionalisasi mengingat industri pengusaha air harus bekerja sama dengan pemerintah.

Menurutnya, aksi nasionalisasi industri AMDK akan memberikan citra buruk bagi pemerintah di mata internasional. Selain itu, pelolosan beleid ini akan membuat investasi hengkang. Pasalnya, pilihan industri AMDK pascapenerbitan aturan tersebut hanya dua, mati atau dinasionalisasi.

Aspadin pun telah menyiapkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai cara terakhir jika RUU SDA diundangkan. Pada tahap awal, asosiasi akan mengomunikasikan peraturan ke publik, dan melepas sebagian besar
tenaga kerja.

Saat ini, industri AMDK menyerap sekitar 40.000 orang tenaga kerja dengan pertumbuhan produksi 10% per tahun. Tahun ini, volume produksi diproyeksi tumbuh 8%-10% menjadi 33 miliar liter.

Utilisasi pabrik AMDK saat ini di kisaran 80%-100%. Nilai jual produk AMDK yang masih rendah membuat mesin harus terus bekerja untuk memenuhi skala keekonomiannya.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan setidaknya ada tujuh pasal pada RUU SDA yang harus diubah, yakni pasal 1, pasal 46 huruf e dan f, pasal 32, pasal 47 b dan f, pasal 70, pasal 51, dan pasal 63.

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, pemerintah perlu memberikan masukan kepada para legislator, dan harus memberikan pemahaman bahwa tidak ada negara yang menetapkan aturan penyisihan laba 10% untuk konservasi air.

Menurutnya, pemerintah harus bergerak sebelum RUU tersebut diundangkan. Alasannya, asosiasi tidak yakin gugatan ke MK berbuah positif lantaran timbulnya masalah ini berawal dari keputusan MK yang kurang komprehensif.

“Itu menjadi suatu hal yang kami khawatirkan. Kalau tadi yang diusulkan [perubahan pasal] diabaikan, concern kami semua itu akan memiliki dampak kepastian berinvestasi.”

Selain itu, draf RUU tersebut tidak sejalan dengan visi Presiden untuk memangkas aturan penghambat investasi. Sebab, rancangan aturan baru itu menakutkan investor.

Anggota Panitia Kerja DPR untuk RUU SDA Bambang Haryo mengatakan bahwa panitia kerja (panja) masih perlu melakukan pembahasan lebih lanjut, karena belum ada mufakat terkait dengan pemanfaatan SDA untuk industri. Suara panja masih terbelah.

 

Sumber: Bisnis Indonesia