JAKARTA – Pelaku usaha industri sawit meyakini ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya ke India tidak akan terganggu meski kasus Covid-19 di negara tersebut mengalami peningkatan dalam sepekan terakhir.
Harga CPO yang lebih kompetitif dibandingkan dengan minyak nabati lain bakal membuat negara importir tetap melakukan pembelian.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyebutkan selisih harga antara CPO dan minyak nabati lain telah menyentuh US$350 per ton. Meski harga CPO telah berada di atas US$1.000 per ton, komoditas ini tetap jauh lebih murah.
“Perbedaan harga CPO dan soybean oil itu hampir US$350 per ton. Sementara di India karena persoalan financing mereka akan mengejar sawit kita harusnya. Jadi kami lihat prospeknya tetap bagus, dengan India tak perlu dikhawatirkan,” kata Sahat dalam diskusi virtual Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Rabu (28/4/2021).
Di sisi lain, Malaysia sebagai negara pesaing yang juga memasok CPO ke India disebutnya juga menghadapi tantangan pasokan yang terbatas akibat berkurangnya pekerja di perkebunan sawit negara tersebut. Hal ini dia sebut menjadi momentum bagi Indonesia yang mulai menikmati kenaikan produksi sawit bulanan.
Terpisah, Direktur Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri Bernard Riedo juga mengutarakan optimisme serupa. Meski harga yang tinggi mengurangi keunggulan mutlak sawit, negara importir utama seperti India tetap akan memilih minyak nabati termurah.
“India tetap akan membeli sawit karena dibandingkan minyak nabati lain, harganya lebih murah. Masyarakat India yang penting adalah affordable oil dan dengan pandemi Covid-19 ini minyak sawit menjadi semacam kebutuhan dasar yang harus dipenuhi demi kelangsungan masyarakat di sana,” kata Bernard.
Meski demikian, dia tetap berharap pelaku usaha memberi perhatian khusus pada perkembangan penanganan pandemi di negara tersebut. Bagaimanapun, India merupakan destinasi ekspor utama Indonesia.
Data Gapki menunjukkan bahwa ekspor CPO dan turunannya pada Maret mencapai 3,24 juta ton atau naik 62,7 persen dibandingkan dengan Februari 2021 yang hanya menyentuh 1,99 juta ton.
Kenaikan harga komoditas tersebut yang diiringi dengan naiknya volume diperkirakan akan mengerek nilai ekspor menjadi US$3,74 miliar pada Maret atau 80 persen lebih tinggi dari perkiraan nilai ekspor pada Februari.
Sumber: Bisnis.com