Jakarta: Kedaulatan energi menjadi suatu keharusan untuk pemenuhan energi dari dalam negeri. Selain mengurangi ketergantungan terhadap minyak dan batu bara, energi baru dan terbarukan (EBT) juga mampu memenuhi kebutuhan energi.

Menurut praktisi bisnis pembangkit listrik, Handoko, EBT berasal dari air, mikro hidro, angin (bayu), tenaga surya, gelombang laut, dan panas bumi. Indonesia, kata dia, memiliki sumber EBT yang melimpah. Sayangnya, pemanfaatannya tersendat lantaran mahalnya teknologi.

“Untuk itu, penguasaan teknologi juga harus mendapatkan prioritas sehingga kita tidak lagi tergantung pada teknologi luar negeri,” ujar Handoko dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Selasa, 31 Juli 2018.

Soal pembangkit listrik tenaga air (PLTA), jelasnya, Indonesia sudah cukup lama menguasai teknologinya. Terlebih sungai-sungai yang ada di Indonesia menyimpan potensi energi hingga 75 gigawatt (GW). Namun pemanfaatannya masih sangat kecil.

“Pembangunan PLTA harganya mahal, antara lain karena porsi pekerjaan sipil (civil work) yang besar, seperti pengerjaan bendungan dan penstock (pipa pesat) serta lokasinya yang sulit diakses. Tetapi energi primernya bisa diperoleh dengan gratis dan bisa dibangun beberapa pembangkit dalam satu aliran sungai dalam jarak yang berdekatan (cascade/ berjenjang) dengan memanfaatkan perbedaan elevasi,” ungkap Handoko.

Menyinggung soal biaya investasi (capital expenditure), lanjutnya, pembangkit listrik EBT masih lebih mahal dari pembangkit energi fosil. Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) bisa menelan investasi sekitar USD4 juta/MW, lebih mahal ketimbang PLTU batu bara yang hanya USD1,5 juta-USD 2 juta/MW.

“Seperti listrik yang berasal dari PLTP, fase eksplorasi sumber energi sudah memakan biaya sangat besar. Harus memakai teknologi tinggi dan mahal, ditambah lagi dengan success rate yang rendah. Ketika Anda mengeksplorasi sebuah lapangan geotermal dan melakukan pengeboran, tingkat keberhasilannya tak lebih dari 20 persen,” papar Handoko.

Demikian juga investasi yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS/solar cell) yang membutuhkan investasi hingga Rp28 miliar. Terlebih, PLTS membutuhkan area yang luas.

“Tapi saya yakin, akselerasi pemanfaatan solar cell semakin masif seiring dengan semakin majunya teknologi panel surya dan baterai,” pungkasnya.

 

Sumber: Metrotvnews.com