BELITUNG – Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) meminta pemerintah menyelesaikan persoalan legalitas lahan milik para petani sawit di Tanah Air. Legalitas lahan menjadi penting agar sawit Indonesia diakui pasar internasional terutama terkait aspek ketertelusuran (traceability) dan keberlanjutan yang lebih maju (sustainability next, beyond sustainability). Saat ini, sedikitnya terdapat 1,90 juta hektare (ha) kebun sawit rakyat yang berada di kawasan hutan sehingga legalitas dari lahan tersebut dipertanyakan.

Wakil Ketua Umumni Gapki bidang Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang mengatakan, keberlanjutan mungkin tidak lagi menjadi term yang digunakan di industri kelapa sawit, melainkan mengarah ke istilah lain seperti ketertelusuran (traceability) atau keberlanjutan yang lebih maju (sustainability next, beyond sustainability). Perusahaan akan menerapkan hal itu terlepas dari istilah yang digunakan, sesuai instruksi berlaku. “Setidaknya ada sekitar 1,90 juta ha lahan sawit rakyat yang berada di kawasan hutan. Ini bukan domain kami untuk menyelesaikan. Tapi, akan berdampak bagi kami bila tidak diselesaikan,” kata Togar di Jakarta, kemarin.

Di sisi lain, lanjut Togar, permintaan atas beyond sustainability datang dari pasar dan membidik perusahaan besar tanpa mempertimbangkan efek lanjutannya terhadap petani rakyat yang berada di ujung rantai pasok. Di Indonesia, hingga 40% areal kebun kelapa sawit merupakan milik petani rakyat dan hanya sedikit petani yang pernah mendengar istilah sustainability. Akibatnya, ketika pasar mengharuskan syarat sustainability dan traceablity, tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan kebun rakyat bisa saja tidak bisa diserap industri atau perusahaan pengolahan minyak sawit Pasalnya, perusahaan yang berada di rantai pasok bersinggungan langsung dengan pasar.

Karena itu, kata Togar, pemerintah harus segera menyelesaikan masalah legalitas lahan kebun sawit rakyat yang masuk ke dalam kawasan hutan. Dengan demikian, TBS yang dihasilkan petani rakyat dapat memenuhi persyaratan traceability dan diterima masuk ke rantai pasok perusahaan. “Perusahaan akan menerapkan apa saja persyaratan yang dituntut Tapi, kalau traceability dituntut sekarang, akan sulit bagi sawit Indonesia. Karena, ada potensi TBS yang dipanen itu berasal dari kebun yang masuk kawasan hutan. Artinya, dari 40 juta CPO Indonesia bisa saja terkontaminasi, artinya bisa dikatakan tidak sustainable,” kata Togar saat lokakarya Membangun Pemahaman Komprehensif tentang Industri Kelapa sawit yang Berkelanjutan di Belitung.

Peran pemerintah dituntut untuk mengatasi tantangan sustainability tersebut. Apalagi, perusahaan akan mendapat protes jika tidak membeli TBS dari kebun rakyat yang dinyatakan masuk kawasan hutan. Apalagi, buyer sawit itu kadang mempersyaratkan sustainability dan traceability secara tersamar. “Mintanya traceability, tapi kalau ada sumber pasokan bermasalah dianggap tidak sustainable. Mereka bilang, kami nggak bisa beli dari Anda. Ditelusuri, jangan sampai ada satu brondol sawit berasal dari hutan, di sisi lain perusahaan berhadapan dengan masyarakat,” kata dia.

Ironisnya, lanjut Togar, sawit satu-satunya minyak nabati di dunia yang menerapkan sertifikasi berkelanjutan. “Karena itu, dalam proses perundingan CEPA Indonesia-Uni Eropa diusulkan agar semua minyak nabati diterapkan sistem sertifikasi berkelanjutan,” kata Togar.

Sebelumnya, Direktur Roundtable on Sustainable palm oil (RSPO) Indonesia Tiur Rumondang menyatakan bahwa penerapan aspek ketertelusuran (traceability) hanya bagian dari pemenuhan prinsip keberlanjutan (sustainability). Ketertelusuran juga menunjukkan transparansi perusahaan kelapa sawit. RSPO mengeluarkan standar untuk sertifikasi pemenuhan prinsip keberlanjutan sawit

Tiur menjelaskan, traceabilityhanya.  sebagian Aan sustainability Di subsektor kelapa sawit ketertelusuran berarti transparansi. Artinya, belum tentu perusahaan sawit telah menerapkan proper way (cara yang tepat) terkait buruh dan belum tentu menggunakan good agricultural practices (GAP/ praktik budidaya pertanian yang baik). “Hal-hal itu tidak bisa diukur dengan traceability. Apakah menerapkan proper way atau GAP, nggak bisa jawab. Karena itu, traceability hanya mewakili transparansi, hanya bagian dari sustainability,” kata Tiur.

Damiana Simanjuntak

 

Sumber: Investor Daily Indonesia