Pemerintah memangkas persyaratan program peremajaan sawit rakyat (PSR) dari 27 menjadi hanya 9-10 guna mendorong percepatan program tersebut. Pengajuan PSR juga bisa dilakukan melalui aplikasi daring, sehingga semua proses berlangsung transparan dan jika ada kendala, maka dengan segera diatasi permasalahannya.
Direktur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDP KS) Herdrajat Natawijaya dalam seminar teknis kelapa sawit di Palembang, Sumsel, mengatakan, pengurangan persyaratan diperlukan untuk mempercepat program itu. “Sesuai amanah Presiden Joko Widodo untuk menyederhanakan persyaratannya, maka atas dasar itulah saat ini kita memangkas persyaratannya dari 27 syarat menjadi 9-10 syarat saja,” kata dia seperti dilansir Antara di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, pada tahun ini pemerintah menargetkan realisasi PSR mencapai 200 ribu hektare (ha). Sedangkan rendahnya realisasi program yang disalurkan pada 2018, cenderung lambat karena persoalan teknis. “Jadi, rendahnya realisasi karena rekomendasi teknis (rekomtek) yang diterima baru pada akhir tahun,” kata Herdrajat Natawijaya.
Sementara itu, Bupati Musi Banyuasin (Muba) Sumsel Dodi Reza Alex Noerdin menyatakan, saat ini Muba telah dipandang sebagai tempat la-boratrium yang ideal untuk PSR. Hal itu karena Muba peduli dengan tata kelola, kemandiran ekonomi, hingga penanganan masalah sawit secara serius. “Muba sangat serius dalam menangani masalah-masalah kelapa sawit karena sebagian masyarakat menggantungkan hidupnya dari perkebunan kelapa sawit dan karet,” ujarnya.
Menurut dia, kelapa sawit telah mengentaskan kemiskinan dan oleh karena itu pihaknya tidak main-main dalam melawan propaganda asing yang ingin mematikan komoditas perkebunan kelapa sawit. Sebab, faktanya tidak ada kelapa sawit yang merusak alam, tapi justru menghijaukan alam dan mengentaskan kemiskinan. Pemkab Muba optimistis untuk melakukan peremajaan kelapa sawit petani melalui berbagai program di antaranya melalui PSR, apalagi melalui program ini petani dibantu Rp 25 juta per ha dan sisanya melalui perbankan. Herdrajat menuturkan, program PSR yang dicanangkan Presiden Jokowi pada Oktober 2017 hingga kini masih rendah realisasinya karena dihadapkan sejumlah persoalan. Berdasarkan data teranyar BPDPKS diketahui dari target 185 ribu ha hanya terealisasi 12.622 ha pada 2018. Terdapat dua poin yang menjadi kendala penyerapan dana peremajaan lahan sawit itu, yakni legalitas lahan dan adanya dana pendampingan yang harus disiapkan petani sendiri melalui pinjaman perbankan (KUR/kredit komersial) atau tabungan pribadi, mengingat untuk meremajakan lahan sawit dibutuhkan dana sekitar Rp 45 juta. “Semua pihak terkait seharusnya mempelajari mengapa hal ini bisa tersendat, agar penyerapan di 2019 jadi lebih baik mengingat ditargetkan 200 ribu ha,” kata dia.
Program PSR pertama kali diselenggarakan di Muba, Sumsel. Pada tahap pertama sudah diremajakan 4.400 ha lahan, tahap kedua 8.000 ha. Bupati Muba Dodi Reza Alex mengatakan, pemkab memiliki strategi untuk merealisasikan program peremajaan lahansawitini, salah satunya menurunkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sehingga petani tidak begitu terbeban biaya untuk pembuatan Surat Hak Milik/ Surat Kepemilikan Tanah. “Dampaknya PAD kami jadi rendah, tapi tidak apa demi petani. Selain menurunkan NJOP, kami juga memberikan data yang akurat ke pemerintah mengenai lahan mana saja yang layak menerima bantuan dari program ini,” kata dia.
Program PSR diresmikan Jokowi di Musi Banyuasin, Sumsel, pada 13 Oktober 2017 demi meningkatkan produktivitas panen dari 2,50 ton minyak sawit mentah crude palm oil/ CPO) per ha menjadi 8 ton CPO per ha. Biaya Rp 25 juta per ha itu ditanggung oleh BPDPKS dengan syarat lahan harus berserfikat, memiliki dana pendampingan, lahan yang tidak produktif yakni kurang dari 10 ton per ha per tahunnya dan kurang dari 4 ha.
Antisipasi Karhutla
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Sumsel mengingatkan 67 perusahaan anggotanya menyiapkan sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sejak awal meski musim kemarau diperkirakan baru Juni. Ketua Gapki Sumsel Harry Hartanto, di Palembang, mengatakan, penyiapan pompa air, selang, tangki air, kendaraan, menara api dan lainnya sebaiknya mulai dilakukan Februari sehingga upaya mitigasi menjadi lebih maksimal saat kemarau tiba pada Juni. “Misal ada pompa yang rusak, ini saatnya memperbaiki. Jangan sudah masuk musim kemarau baru mau siap-siap, itu sudah terlambat,” kata Harry.
Harry mengatakan, kebakaran merupakan ancaman luar biasa bagi bisnis perkebunan karena jika lahan sampai terbakar, perusahan dipastikan merugi. Dalam 1 ha lahan sawit dibutuhkan setidaknya biaya Rp 60 juta untuk pemulihan lahan terbakar. Belum lagi, jika berbicara potensi pemasukan yang hilang akibat kebakaran tersebut. Untuk itu, Gapki sebagai organisasi perusahaan perkebunan terus mengimbau perusahaan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana ini. Apalagi pada 2015, Sumsel mengalami kejadian luas biasa yakni terbakarnya hutan dan lahan seluas 700 ribu ha yang tersebar di lima kabupaten. Berbagai upaya nyata yang dilakukan di antaranya, menggelar pelatihan TOT ke para ketua regu pemadam api dan menggerakkan Kelompok Tani Peduli Api yang berada di desa-desa sekitar areal konsesi. “Dengan upaya ini, Gapki berharap upaya mitigasi akan maksimal pada 2019 sehingga Sumsel dapat mencapai target zero karhutla,” ujar dia.
Sumber: Investor Daily Indonesia