Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) menyarankan agar pemerintah mulai menyiapkan strategi agar industri sawit nasional tidak lagi menggantungkan diri pada pasar ekspor. Artinya, pasar sawit domestik perlu diperbesar lagi, saat ini porsi pasar ekspor masih mencapai 70% dari total produksi dan hanya 30% yang digunakan di dalam negeri. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan melakukan substitusi bahan bakar minyak (BBM) dengan green diesel, green gasoline, dan green jet fuel dari minyak sawit.

Wakil Ketua I DMSI Sahat Sinaga mengatakan, ketergantungan yang tinggi terhadap pasar ekspor membuat industri sawit nasional begitu kelimpungan ketika terjadi permasalahan di pasar global yang berakibat pada turunnya permintaan akan komoditas perkebunan tersebut. Hal ini berkaca pada penurunan ekspor produk turunan minyak sawit pada November 2018 akibat permintaan global yang juga terkoreksi, meski di satu sisi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mengalami kenaikan. Pada November 2018, produk minyak sawit yang melalui proses hilir turun karena memang permintaan pasar global juga turun mulai Oktober. Itu dipicu adanya distorsi pasar vegetable oil akibat dari perang tarif antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS).

Menurut dia, stok soybean oil juga menumpuk di AS sehingga banyak negara bersikap wait and see akibat gejolak ketidakjelasan posisi itu. Banyak negara menunda pembelian dan memakai cadangan yang ada. Dengan gejala yang demikian itu, Indonesia sudah seharusnya membuat strategi agar pasar sawit Indonesia tidak boleh lagi menggantungkan diri pada ekspor. “Perlu mengubah posisi 30% lokal dan 70% ekspor menjadi 70% lokal dan 30% ekspor. Strategi itu bisa dilakukan dengan melakukan substitusi BBM dengan green diesel (bukan fatty acid methyl esters/FAME) , green gasoline (bensin), dan green jet fuel dari minyak sawit,” kata dia di Jakarta, kemarin.

Sahat menjelaskan, agar harga green fuel itu bersaing maka sudah saatnya Inpres No 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa sawit (Inpres Moratorium Sawit) segera dilaksanakan. Hal itu diperlukan guna memacu produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia, khususnya milik petani. “Dengan begitu, Indonesia dapat menjalankan strategi menghadapi persaingan pasar minyak nabati global. Indonesia harus bersiap agar tidak lagi mengandalkan kinerja sektor sawit kepada pasar ekspor. Tingkatkan produktivitas kebun sawit rakyat secepatnya,” jelas Sahat.

Dia mengatakan, untuk mempercepat peningkatan produktivitas kebun sawit rakyat tersebut maka diperlukan kehadiran negara berupa penugasan kepada BUMN perkebunan dalam hal ini PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk melaksanakan perbaikan kebun rakyat (petani). Yang menjadi kendala perbaikan produktivitas kebun petani selama ini adalah petani tidak bisa membiayai sendiri untuk proses peremajaan tanaman (replanting). Sebab, dari awal para petani hanya dialokasikan lahan 2 hektare (ha) per kepala keluarga (KK). “Itu tidak cukup dan tidak ada sisa uang untuk disimpan petani sebagai persiapan untuk replanting,” kata Sahat.

Seharusnya, hal tersebut sudah disikapi pemerintah dari dulu dengan sebiasa mungkin per KK memiliki kebun sawit 4 ha. Dengan demikian, petani memiliki sumber penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tabungan saat peremajaan. “Itu pokok utama. Persoalan lain, selama jaya, tumbuh baik, dan hidup petani sawit maju, banyak petani-petani ikut-ikutan tanpa mengetahui teknik berbudidaya sawit. Karena ketidak mengertian tentang sawit, mereka berbondong-bondong dan latah menanam sawit. Akhirnya, membeli benih dan menanam sawit asal-asalan. Itulah keruwetan sawit rakyat ini,” kata Sahat.

Kondisi itu, kata dia, berbeda dengan kebun perusahaan yang mempunyai areal luas dan dilengkapi dengan para ahli dan dana yang cukup. Karena itu, perusahaan mampu bertahan oleh terpaan angin. Saat harga anjlok pun perusahaan sawit tetap survive karena produktivitas tanaman mereka bisa 24-28 ton tandan buah segar (TBS) per tahun, sedangkan produktivitas kebun sawit rakyat hanya 6-10 ton TBS per ha per tahun. “Karena itu, peremajaan kebun sawit rakyat mendesak dipercepat. Bahkan, pemerintah perlu menugaskan BUMN perkebunan, PTPN,” tegas Sahat.

Selain itu, dengan kondisi harga seperti sekarang, adanya persaingan dengan Malaysia, dan kondisi global, kebijakan tarif dana pungutan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDP KS) perlu diperbaiki dengan cepat. Dana pungutan produk hulu (CPO, CPKO, dan RBDPKO) tinggi, misalnya US$ 35 per ton, turunan I sebesar US$ 20 per ton, dan untuk turunan II dibebaskan dari pungutan atau nol. Dengan begitu, ada insentif bagi industri hilir, sehingga ekspor produk hilir akan segera meningkat dan harga sawit akan cepat naik. Dengan sendirinya, harga TBS bisa kembali naik ke level Rp 1.560-1.600 per kilogram (kg) di pabrik kelapa sawit (PKS). Melalui upaya itu maka Indonesia bisa bersaing dengan Malaysia pada level playing field yang sama.

Kebijakan India

Sebelumnya, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (BPPP Kemendag) Kasan Muhri memaparkan analisas atas dampak kebijakan tarif bea masuk (BM) impor sawit oleh India atas produk asal Malaysia menyusul kesepakatan perdagangan antarkedua negara bagi sawit Indonesia. Tarif BM CPO India untuk Malaysia sesuai Preferensi IM CECA per 1 Januari 2019 turun menjadi 40% dari 44%. Penurunan tarif itu sama seperti penurunan tarif BM CPO India untuk Indonesia sesuai AIFTA yang juga turun menjadi 40% dari 44%.

Tarif BM RBD palm oil India untuk Malaysia sesuai Preferensi IM CECA per 1 Januari 2019 turun dari 54% menjadi 45%. Sementara tarif BM RBD palm oil India untuk Indonesia sesuai AIFTA per 1 Januari 2019 turun dari 54% menjadi 50%. Per 31 Desember 2019, tarif BM RBDpalm oilIndia dalam skema AIFTA akan sama dengan skema IM CECA sehingga tarifnya sama-sama 45%. Atas kebijakan India terhadap Malaysia tersebut, BPPP Kemendag membuat analisis singkat dengan metode regresi sederhana terkait perubahan tarif BM India tersebut. Perubahan BM India berdampak signifikan terhadap volume impor CPO dari Indonesia.

Dia menjelaskan, setiap kenaikan tarif 1% di India akan menurunkan volume impor dari Indonesia sebesar 3.958,70 ton. Begitu pun sebaliknya jika tarif turun 1% akan menaikkan ekspor sebanyak 3.958,70 ton. Dengan demikian, penurunan tarif dari 44% menjadi 40% pada 2019 akan menyebabkan kenaikan volume ekspor sebesar 190.020 ton atau kenaikan nilai ekspor sebesar US$ 135 juta. “Tetapi, kenaikan tarif impor India secara statistik tidak signifikan terhadap volume impor CPO India dari Malaysia,” ujar Kasan, belum lama ini.

Di sisi lain, kenaikan tarif impor RBD palm oil India berdampak signifikan terhadap volume impor RBD palm oil India dari Indonesia dan Malaysia. Setiap kenaikan tarif 1% di India akan menurunkan volume impor dari Indonesia sebesar 2.010 ton, sehingga penurunan tarif dari 54% menjadi 50% memberi dampak kenaikan volume ekspor RBD palm oil Indonesia sebesar 96.500 ton atau kenaikan nilai ekspor setara US$ 69,76 juta. Bagi Malaysia, kenaikan tarif impor India 1% menurunkan volume impor RBD palm oil dari Malaysia sebesar 749,05 ton, sehingga penurunan tarif dari 54% menjadi 45% berdampak pada kenaikan volume ekspor RBD palm oil Malaysia sebesar 80.900 ton dan kenaikan nilai ekspor setara US$ 58,02 juta.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia