Pemerintah diminta segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) guna menata perizinan perkebunan kelapa sawit di Tanah Air. PP tersebut juga diperlukan guna mengendalikan dan menegaskan pengawasan usaha perkebunan sawit nasional. Selama ini, proses perizinan kebun kelapa sawit cenderung masih terfragmentasi, dimulai izin lokasi oleh bupati, rekomendasi teknis oleh Badan Pertanahan Nasional, lalu diterbitkan izin usaha perkebunan (IUP).

Menurut peneliti litbang Tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Hutan dan sawit (GNPSDAHS) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sulistyanto, perlunya penerbitan PP tentang Penataan Perizinan Perkebunan Kelapa sawit tersebut tertuang dalam rekomendasi Tim GNPSDAHS yang telah disampaikan kepada pemerintah atas hasil kajian mengenai sumber daya alam di Indonesia.

“Kami sudah sampaikan secara resmi sebagai rekomendasi kepada pemerintah, dalam hal ini kepada Kementerian Pertanian (Kementan) karena wewenang kelapa sawit ada di sana,” kata Sulistyanto usai Konferensi ISPO di Jakarta, Kamis (28/3).

Dia menuturkan, proses perizinan kebun kelapa sawit selama ini masih terfragmentasi. Bahkan, apabila kebun tersebut terindikasi di dalam kawasan hutan maka harus ada izin pelepasan, lalu hak guna usaha (HGU) oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). “Pengurusan ini banyak dan tidak ada koordinasi. Ini bisa menjadi peluang korupsi. Perusahaan sawit dengan segala investasinya, ketika mendapat IUP tapi kemudian ternyata masuk kawasan hutan, bisa kemudian tertahan. Ini bisa jadi modus tawar menawar. Karena itu, perlu ada regulasi untuk mengkoordinasikan proses-proses perizinan tersebut,” kata Sulistyanto.

Terkait wewenang pengendalian dan pengawasan, Kementan sebenarnya mempunyai wewenang untuk itu, juga Kementerian ATR. Kementerian ATR berwenang menetapkan lahan yang sudah HGU sebagai lahan telantar, hal itu ketika lahan itu sudah mengantongi HGU untuk sawit tapi dalam beberapa tahun misalnya tidak ditanami. “Dalam proses pengendalian, sebenarnya bisa ditetapkan sebagai lahan telantar. Itu pun tidak ada koordinasi dengan Kementan. Sebenarnya, di Kementan ada proses namanya penilaian usaha perkebunan (PUP), sudah prosesnya tidak dilakukan dengan benar, secara kelembagaan tidak memadai. Seringkali mereka hanya isi kuisioner, tapi faktanya, pada saat data kami kompilasi banyak yang bolong atau tidak lengkap,” kata Sulistyanto.

Sulistyanto mengungkapkan, KPK terus fokus pada upaya mendorong perbaikan proses PUP dan koordinasi perizininan. KPK sudah merekomendasikan hal itu secara resmi saat hasil kajian dipaparkan pada 2017. “Kami akan koordinasikan juga dengan Kemenko Perekonomian, termasuk mengenai tata kelola sesuai Inpres Moratorium sawit (Inpres No 8 Tahun 2018). Hal ini juga mecakup data tutupan sawit di Indonesia,” kata Sulistyanto.

Tata Kelola Sawit

Serikat Petani Kelapa sawit (SPKS) juga mendesak pemerintah memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit di dalam negeri, khususnya petani kecil. Tata kelola termasuk menegaskan visi negara ke depan untuk koperasi-koperasi rakyat di perkebunan. SPKS juga berharap pemerintah fokus pada pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit. “Perbaikan tata kelola harus menjadi penting dan hambatan-hambatan lain perlu dicegah. Hambatan saat ini harus dijadikan pembelajaran bahwa etika bisnis dan tata kelola berkelanjutan sangatlah penting. Khususnya, patuhi legalitas, jangan berkonflik dengan masyarakat, dan jangan melakukan perambahan hutan. Jangan karena ada putusan Uni Eropa (UE) terus kemudian lupa memperbaiki tata kelola. Ada atau tidak itu, tata kelola sawit dalam negeri lebih penting,” kata Ketua SPKS Mansuetus Darto.

Selain itu, dia menambahkan, perlu resolusi konflik antara petani dan perusahaan karena skema kemitraan antara petani dan perusahaan yang saat ini cenderung tidak adil dan memicu konflik. Ada atau tidaknya hambatan perdagangan dan Eropa membeli atau tidak sawit Indonesia, harapan SPKS adalah perbaikan tata kelola sawit petani kecil. “Apa visi negara ke depan untuk koperasi-koperasi rakyat di perkebunan. Bagaimana dengan program B20-B30. Karena tidak ada upaya sedikit pun dari Kemenko Perekonomian untuk mendorong keterlibatan petani atau koperasi petani ikut bagian sebagai pemasok komoditas dari petani untuk kebutuhan energi B30 tersebut. Akibatnya, yang terjadi adalah biodiesel itu hanya monopoli industri,” kata Mansuetus.

Sumber: Investor Daily Indonesia