Jakarta – Pemerintah memetakan berbagai kendala dalam penerapan Biodiesel B20 yang mulai wajib digunakan pada 1 September 2018, salah satunya yakni distribusi ke pulau tertentu.
“Kita lihat apa sih kendalanya, salah satunya adalah harus mengangkut ke pulau tertentu, kan harus pakai kapal. Nah, pengadaan kapalnya sendiri tidak bisa satu-dua hari kan, ada yang sampai 14 hari,” kata Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto di Jakarta, Kamis (13/9).
Djoko menyampaikan hal tersebut usai menghadiri Rapat Koordinasi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta. Selain itu, lanjut Djoko, pengiriman B20 oleh Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) yang memasok FAME (fatty acid methyl esters) yang bersumber dari CPO (crude palm oil) ke Terminal Bahan Bakar Minyak dilakukan berdasarkan jadwal tertentu.
“Makanya kita minta jadwalnya. Besok itu harus dilaporkan ke Menko Perekonomian. Nanti bisa dilihat di jadwal itu, apakah ada keterlambatan atau bagaimana sehingga pengirimannya terganggu,” ungkap Djoko.
Hal lain yakni, di Berau, teknis mencampurkan solar dengan FAME masih dilakukan dengan manual, yakni truk berisi solar akan dikeluarkan isinya sebanyak 20 persen untuk kemudian diisi FAME agar tercampur dan menjadi Biodiesel B20. Kemudian, Djoko juga akan mengidentifikasi depo yang belum melakukan penjualan B20 di seluruh Indonesia dan meminta penjelasan secara resmi un tuk dilaporkan ke Kemenko Perekonomian.
“Alasan itu harus dilaporkan secara resmi. Kita cek juga kecapa belum jualan, besok semua harus dilaporkan,” tukas Djoko.
Menurut dia, pemerintah akan memberikan toleransi apabila alasan dan laporan tersebut terbukti adanya. Namun, apabila al asan yangdisampaikan tidak terbukti, maka pemerintah tak segan untuk menjatuhkan sanksi.
“Kita beri toleransi kalau memang itu terbukti. Kalau tidak terbukti, itu akan kita beri sanksi. Jadi, nanti ada tim di bawah Kemenko Perekonomian yang menentukan itu dikenakan sanksi atau tidak,” pungkas dia
Lalu, Djoko menambahkan bahwa pemerintah menunjuk dua lembaga untuk menguji dan menjaga kualitas dari Biodiesel B20, yakni Pusat Penelitian dan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BP-PT).”Sementara ini sebelum ada penunjukan ke PT Surveyor Indonesia atau Sucofindo kami akan menggunakan institusi pemerintah untuk mengecek, yaitu Lemigas dan BPPT,” kata dia.
Menurut dia, penunjukan kedua lembaga tersebut karena keduanya memiliki kemampuan untuk memeriksa kualitas B20 yang mulai diterapkan sejak 1 September 2O18.”Yakan di pengadilanpun akan dipakai lembaga pemerintah yang punya kemampuan untuk memeriksa kualitas,” ujar dia.
Saat Lui, tambah dia, pengujian kualitas B20 sedang berjalan di kedua lembaga pemerintah tersebut. Sedangkan, penggunaan lembaga riset swasta untuk uji kualitas B20 membutuhkan waktu lebih lama, padahal penerapannya sudah dimulai.”Kalau swasta kan perlu tender dan sebagainya,” ungkap Djoko.
Sementara itu, Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi menyampaikan bahwa seluruh asosiasi terkait yang akan menjadi pengguna B20 telah sepakat untuk mendukung dan menggunakan bahan bakar yang dicampur Bahan Bakar Nabati sebesar 20 persen itu. Namun demikian, asosiasi meminta agar pemerintah memerhatikan kualitas B20 yang tersedia di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).”Meskipun sudah ada sejak 2016, dalam hal ini pihak asosiasi itu meminta pemerintah menjaga kualitas dan ketersediaannya,” kata Budi.
Biodiesel 20 artinya BBM mesin diesel dengan campuran 20 persen minyak sawit dan 80 persen solar. Sebelumnya, penggunaan biodiesel masih untuk B15 atau campuran 15 persen minyak sawit dan 85 persen minyak solar. Selain menghemat biaya impor, penggunaan B20 juga memberikan kontribusi mengurangi emisi CO2 sebesar 6-9 juta ton per tahun. Penerapan Biodiesel 20 persen akan diimplementasikan setelah pemerintah selesai merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor61 Tahun 2014.
Sumber: Harian Ekonomi Neraca