Benar, teknologi terus berkembang. Atas dasar itulah Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian siap mengeksplor tenologi guna mendongkrak pendapatan petani.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan siap mengeksplorasi teknologi yang mampu meningkatkan nilai tambah produk Kelapa Sawit nasional.

“Iya, saya setuju untuk membangun teknologi dalam meningkatkan nilai tambah sawit. Misalnya, yang saya dengar sudah ada pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang memiliki teknologi pengolahan sawit Itu nanti kami eksplor,” kata Agus mengutip ANTARA.

Agus menyampaikan diplomasi soal sawit yang dilakukan Indonesia di Organisasi Perdagangan Du-nia atau World Trade Organization (WTO) terhadap Uni Eropa tetap perlu dilakukan.

Namun, menjalin kesepakatan perdagangan bebas dengan Benua Biru juga dinilai sama pentingnya. Untuk itu, saat proses diplomasi sawit dijalankan, maka Indonesia perlu terus memanfaatkan salah satu komoditas unggulan ekspor ini di dalam negeri.

“Eropa memang salah satu market yang substansial untuk sawit. Tapi, kita juga sedang dalam proses untuk membangun biodiesel 20 (B20) dan B30. Bahkan dalam dua atau tiga tahun, presiden menugaskan untuk memproduksi BI00,” ungkap Agus.

Dengan adanya dukungan teknologi, Agus berharap Indonesia sebagai negara penghasil sawit, mampu memanfaatkannya dengan maksimal.

“Penciptaan teknologi penting. Oleh karena itu, kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, hingga Pertamina,” terang Agus.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri bersama kementerian/-lembaga terkait serta para pemangku kepentingan Kelapa Sawit dan biofuel Indonesia menggelar rapat konsolidasi persiapan konsultasi mengenai gugatan Pemerintah Indonesia atas kebijakan Renewable Energy Directive II (RED n) dan Delegated Regulation (DR) Uni Eropa.

Gugatan dilayangkan Pemerintah Indonesia ke Organisasi Perdagangan Internasional (WorldTrade Organization/WTO) karena kebijakan tersebut dinilai mendiskriminasi produk Kelapa Sawit atau biofuel Indonesia.

“Kami mengadakan rapat konsolidasi ini dengan mengundang Wamenlu dengan melibatkan ke-menterian/lembaga terkait, tim ahli, dan kuasa hukum untuk menyinergikan informasi dan data agar konsultasi dapat dilakukan secara optimal dan menguntungkan Indonesia. Kami mengusulkan kepada Uni Eropa agar konsultasi dapat dilaksanakan pada akhir bulan Januari 2020 di Jenewa, Swiss,” ungkap Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga.

Sebagai tindak lanjut atas gugatan yang diajukan, Pemerintah Indonesia sebagai penggugat secara resmi telah mengajukan permintaan konsultasi kepada Uni Eropa pada 9 Desember 2019. Atas permintaan tersebut, pada 18 Desember 2019, Uni Eropa telah menjawab dan menerima permintaan konsultasi dari Pemerintah Indonesia. Melalui kebijakan RED II, Uni Eropa mewajibkan penggunaan ba-han bakar di Uni Eropa berasal dari energi yang dapat diperbarui mulai tahun 2020 hingga tahun 2030.

Selanjutnya, DR yang merupakan aturan pelaksana RED n memasukkan minyak Kelapa Sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi. Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak Kelapa Sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan Uni Eropa, termasuk minyak Kelapa Sawit Indonesia.

Jerry menyampaikan, pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak Kelapa Sawit oleh Uni Eropa. Selain itu, hal ini adalah tindakan yang diskriminatif dan berdampak negatif pada ekspor minyak Kelapa Sawit atau biofuel Indonesia ke Uni Eropa dan akan memberikan citra buruk terhadap produk Kelapa Sawit di perdagangan global.

“Hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip Uni Eropa yang mengedepankan fair trade, kebebasan, dan keterbukaan. Selain itu, juga tidak selaras dengan semangat Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement yang sedang dirundingkan kedua negara,” tegas Jerry.

Pertemuan konsultasi merupakan langkah awal dari penyelesaian sengketa di WTO. Tujuan konsultasi adalah meminta klarifikasi atas isu-isu yang dipermasalahkan dan mencari solusi yang memuaskan kedua pihak tanpa harus melalui proses litigasi WTO.Pada tahapan ini, terbuka ruang seluas-luasnya bagi Indonesia untuk meminta klarifikasi kepada pihak Uni Eropa.

 

Sumber: Harian Ekonomi Neraca