JAKARTA-Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menetapkan 15 sektor industri prioritas untuk memacu ekspor nasional. Ini bertujuan memangkas defisit neraca perdagangan yang tahun lalu mencapai US$ 3,2 miliar.

Ke-15 sektor itu adalah industri pengolahan minyak kelapa sawit dan turunannya, makanan, kertas dan barang dari kertas, crumb rubber, ban, dan sarung tangan karet, kayu dan barang dari kayu, serta tekstil dan produk tekstil. Selanjutnya, industri alas kaki, kosmetik, sabun, dan bahan pembersih, kendaraan bermotor roda empat, kabel listrik, pipa dan sambungan pipa dari besi, industri alat mesin pertanian, elektronika konsumsi, perhiasan, serta kerajinan.

“Hal ini akan membenahi masalah struktural ekonomi saat ini, yaitu defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Jumat (17/1/2020).

Dia mengatakan, kontribusi industri manufaktur hingga saat ini masih mendominasi terhadap capaian nilai ekspor
nasional. Untuk itu pemerintah akan memberikan perhatian khusus pada pengembangan sektor industri manufaktur.

“Adapun beberapa tantangan yang perlu segera dibenahi agar industri kita bisa lebih berdaya saing antara lain adalah menjaga ketersediaan bahan baku dan komponen. Kemudian, dilakukan pendalaman struktur industri, pengoptimalan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), dan terus mendorong pembangunan kawasan industri termasuk sentra IKM,” ucap Agus.

Agus menerangkan, Kemenperin juga fokus untuk turut menarik investasi bagi sektor industri yang menghasilkan produk substitusi impor dan tetap menjalankan kebijakan hilirisasi industri. Langkah-langkah strategis yang dijalankan di antaranya implementasi mandatori B-30. Hal ini dapat memberikan penghematan devisa sebesar US$ 4,8 miliar sekaligus menjamin ketersediaan bahan bakan minyak jenis biosolar.

“Langkah lainnya, pengembangan litbang industri farmasi dengan tujuan menghasilkan obat untuk kebutuhan nasional dan mengurangi impor bahan baku obat,” ujar dia.

Selanjutnya, Agus menuturkan, melakukan penguatan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) guna mengurangi impor produk petrokimia dan menghemat devisa negara US$ 1 miliar per tahun. Berikutnya, pengembangan gasifikasi batubara di Peranap dan Tanjung Enim untuk mengurangi ketergantungan impor polipropilena dan LPG.

Kemudian, Agus menerangkan, pengembangan hortikultura berorientasi ekspor untuk membantu tumbuhnya kapasitas industri konsentrat di dalam negeri dan mendorong kinerja ekspor. Selain itu, pengoperasin green refinery di Plaju untuk menghasilkan diesel nabati (green diesel) dan mengurangi ketergantungan impor BBM.

“Kami juga fokus mendorong pengembangan industri berbasis stainless steel di Morowali dalam rangka meningkatkan nilai tambah bahan baku mineral di dalam negeri,” ujar Menperin Agus.

Bahkan, kata Menperin, dilakukan pula pengembangan investasi industri petrokimia di Cilegon dan Merak, Banten, untuk dapat mengurangi ketergantungan impor produk petrokimia serta akselerasi pengembangan kawasan industri petrokimia di Teluk Bintuni guna mengurangi ketergantungan impor produk petrokimia.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Desember 2019, ekspor produk industri pengolahan mampu mencapai US$ 126,57 miliar atau menyumbang 75,5% terhadap total ekspor Indonesia yang menyentuh US$ 167,53 miliar sepanjang tahun lalu.

“Kami sudah punya peta jalan Making Indonesia 4.0, yang menjadi strategi kesiapan kita memasuki era industri 4.0. Melalui roadmap ini, kami juga akan meningkatkan 10% kontribusi ekspor netto terhadap PDB,” kata Agus.

Ekspor Farmasi

Sementata itu, PT Kimia Farma Tbk tengah menjajaki peluang ekspor produk farmasi ke Kuwait. Potensi ekspor ke negara Timur Tengah tersebut masih terbuka lebar, mengingat pasar Kuwait tengah berkembang cukup pesat.

Dalam upayanya menjajaki pasar Kuwait, Direktur Pengembangan Bisnis Kimia Farma Imam Fathorrahman menemui Duta Besar RI untuk Kuwait Tri Tharyat untuk membahas potensi ekspor produk Kimia Farma ke Kuwait. Kimia Farma sendiri memiliki fasilitas produksi terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas
produksi melebihi kebutuhan dalam negeri sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan ekspor.

“Mudah-mudahan Kuwait dapat menjadi salah satu tujuan ekspor kami. Untuk itu, bantuan KBRI Kuwait terutama mengenai informasi mengenai mekanisme dan peraturan impor di Kuwait dan perusahaan lokal yang berpotensi menjadi distributor produk-produk Kimia Farma sangat dibutuhkan,” kata Imam dalam keterangan resmi di Jakarta.

Tri Tharyat mengungkapkan, Kuwait adalah salah satu negara Teluk yang sangat terbuka bagi investor asing dan dapat menjadi alternatif pintu masuk produk Kimia Farma ke negara-negara Teluk lain. Hal ini merupakan kesempatan baru, mengingat selama ini, pintu masuk tradisional produk ekspor Indonesia ke kawasan adalah Persatuan Emirat Arab dan Saudi Arabia.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia