JAKARTA- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengubah ketetapan harga indeks pasar (HIP) solar bersubsidi yang dipakai untuk menghitung selisih harga solar dan biodiesel.

Perubahan ketetapan ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No 45 Tahun 2018 tentang penyediaan dan pemanfaatan biodiesel dalam kerangka pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS). Beleid ini merevisi Permen 41/2018.

Mengacu Permen 45/2018, kini tidak lagi dibedakan jangka waktu penetapkan HIP solar bersubsidi dan nonsubsidi. HIP kedua jenis solar ini ditetapkan setiap bulan. Sebelumnya, dalam Permen 41/2018, HIP solar bersubsidi ditetapkan setiap tiga bulan, sementara HIP solar nonsubsidi ditetapkan setiap bulan.

Berdasarkan, Permen 45/ 2018, selisih HIP solar dan biodiesel akan menentukan besara dana pembiayaan biodiesel yang dikucurkan BPDPKS. Selisih kurang ini berlaku untuk semua jenis solar. Sementara selisih kurang untuk pencampuran solar bersubsidi merupakan batas atas pembayaran dana pembiayaan biodiesel.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto menuturkan, perbedaan penetapan HIP solar bersubsidi dan nonsubsidi ini dikeluhkan oleh badan usaha bahan bakar nabati (BBN). Hal ini juga menjadi salah satu kendala dalam perluasan mandatori pencampuran biodiesel 20% (B20).

Pihaknya sendiri memang berniat merevisi beleid yang membedakan penetapan HIP solar bersubsidi dan nonsubsidi itu sesuai permintaan badan usaha BBN. Waktu itu, pihaknya menerbitkan surat terlebih dahulu sebelum ada perubahan peraturan. “Tetapi sambil menunggu itu (revisi aturan), saya akan mengeluarkan surat agar bisa sebulanan. BPDPKS membutuhkan surat ini untuk membayar selisih ke badan usaha BBN,” jelas Djoko.

Pemerintah mencatat realisasi serapan unsur nabati (fatty acid methyl eter/FAME) untuk Program Biodiesel 20% (B20) hingga September lalu baru mencapai 2,06 juta kiloliter (KL). Realisasi ini baru 52,55% dari target tahun ini 3,92 juta KL.

Direktur Jenderalenergi baru terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana sempat mengakui, Program B20 memang belum berjalan optimal lantaran ada kendala di masalah pengiriman FAME. Untuk itu, pemerintah akan mengubah jumlah tujuan pasok FAME dari badan usaha bahan bakar nabati (BBN) ke PT Pertamina (Persero).

 

Sumber: Investor Daily Indonesia