Pungutan Di Daerah Rugikan Industri Pengusaha mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi regulasi perizinan sawit di beberapa daerah yang kerap merugikan industri. Masih banyak daerah yang membuat regulasi pungutan dan retribusi yang memberatkan dunia usaha.

Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Bidang Urusan Organisasi Kacuk Sumarto mengatakan, ketidakberesan tata kelola perizinan menyebabkan banyak persoalan yang tumpang tindih. Terutama soal penggunaan lahan di daerah.

“Ada sejumlah regulasi di daerah, seperti retribusi dan pungutan yang tidak sesuai dengan aturan pemerintah pusat. Sebaiknya perlu sinkronisasi dan pengawasan di daerah baik oleh pemerintah dan KPK,” ujarnya, di Jakarta, kemarin.

Kacuk meminta pemerintah dapat mengharmonisasikan aturan di daerah, supaya ada kepastian dan kejelasan bagi dunia usaha. Diajuga mengusulkan, semua pihak duduk bersama sebagai upaya mengatasi persoalan tersebut dan memajukan Indonesia.

Berdasarkan data yang diolah KPK, terjadi tumpang tindih HGU (Hak Guna Usaha) dengan izin pertambangan sebanyak 3,01 juta hektare (ha). Tumpang tindih HGU dengan IUPHHK -HT1 (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri) seluas 534 ribu ha, dan tumpang tindih HGU dengan IUPHHK-HA seluas 349 ribu ha.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino meminta pemerintah memperbaiki regulasi berkaitan tata kelola niaga Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Jika tata kelola niaga diperbaiki, anjloknya harga sawitdi tingkat petani dapat diatasi.

“Sejauh ini, belum ada peraturan gubernur untuk mengakomodir Permentan Nomor 1/2018 mengenai penetapan harga pembelian TBS kelapa sawit,” kata dia.

Ketua Tim Koordinasi Supervisi KPK Bidang Sawit Sulistyanto menyatakan, pihaknya akan memperhatikan persoalan ketidakjelasan regulasi di daerah. Terutama soal pungutan yang memberatkan dunia usaha.

“Dalam temuan kami, terjadi pengendalian izin tidak efektif (kasus tumpang tindih lahan) dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sejauh ini tidak ada koordinasi antar pemerintah daerah dengan Kementerian/ Lembaga dalam proses penerbitan dan perizinan,” ungkapnya.

Untuk itu, KPK membentuk 9 Koordinator Wilayah (Korwil) di 34 Provinsi. Sulistyanto mengatakan, salah satu tugas Korwil mengawasi berbagai aturan di daerah, termasuk ketidakjelasan penerapan di satu daerah. Sebagai contoh, ada peraturan gubernur di Kalimantan Tengah yang direkomendasikan supaya direvisi.

“Yang saya tahu Kalimantan Tengah menerbitkan Pergub dengan tujuan pembangunan daerah. Tetapi kami belum tahu, apakah (retribusi) dikembalikan kepada pembangunan daerah atau tidak,” ujarnya.

Menurutnya, pelaku usaha dapat juga memberikan laporan terkait ketidakpastian dalam sebuah regulasi daerah. “Silakan laporkan kepada kami kalau ada ketidakjelasan (aturan) di daerah,” paparnya.

Salah satu rekomendasi KPK adalah meminta pemerintah memperbaiki sistem perizinan. Tujuannya, demi meningkatkan akuntabilitas izin usaha perkebunan, sehingga tingkat kepatuhan kewajiban keuangan, administrasi, dan lingkungan hidup usaha perkebunan mencapai 100 persen.

“KPK juga mempunyai tim Koordinasi Supervisi dan Pencegahan. Kalau indikasi korupsi (di daerah) maka bisa melaporkan ke bagian pengaduan masyarakat,” kata Sulistiyanto.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang mengatakan, saat ini pihaknya sedang mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun). “Ini untuk memperbaiki tata kelola sawit,” ujarnya.

Sejauh ini, jumlah perizinan yang dihimpun Direktorat Jenderal Perkebunan mencapai 1.380 perizinan. Jumlah pelaku usahanya mencapai 2.121 perusahaan di 13 provinsi dan 97 kabupaten.

“Ada tiga fungsi Siperibun yaitu integrasi data dan informasi perizinan usaha perkebunan di skala nasional, membuat instrumen pembinaan dan pengawasan perizinan usaha perkebunan, ditambah lagi koordinasi dan informasi bagi kementerian/ lembaga, pemerintah daerah dan masyarakat,” tutur dia.

 

Sumber: Rakyat Merdeka