JAKARTA – Pengusaha kelapa sawit mengeluhkan inkonsistensi regulasi tata ruang agraria dalam pelepasan kawasan hutan yang dinilai mempersulit investasi.

Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono memberikan ilustrasi mengenai situasi industri berbasis lahan di Kalimantan Tengah.

Eddy menjelaskan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 759 tahun 1982, Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah adalah seluas 15,3 juta hektare.

Adapun pembagiannya adalah Hutan Suaka Alam 729.919 ha, Hutan Lindung 800.000 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 3,4 juta ha, Hutan Produksi (HP) 6 juta ha, dan Hutan Produksi Konversi (HPK) 4,3 juta ha.

“[Namun], pada 1999 dilakukan padu serasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dengan TGHK dan Peta TGHK dinyatakan tidak berlaku lagi,” paparnya, belum lama ini.

Eddy menegaskan akibat dari kebijakan yang ndak konsisten ini 349 perusahaan dianggap masuk kawasan hutan dengan luas total 2 juta ha.

Menurutnya, ada dua masalah utama yang menghambat investor terkait dengan perubahan semacam itu. Pertama, perusahaan kesulitan mencari lahan pengganti. Kedua, adanya biaya Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Ganti Rugi Tegakan, Dana Reboisasi (DR) beserta dendanya sampai dengan 15 kali dari total biaya per ha.

Asumsinya, jelas Eddy, ganti rugi yang harus dibayar Rp9,9 juta per ha. Bila ditambah denda 10 kali lipat saja, biaya yang harus dibayar adalah sebesar Rp99,3 juta per ha. “Biaya yang harus dibayar sama dengan biaya membuat kebun baru,” tegasnya.

Eddy menuturkan sampai sejauh ini pemerintah sudah menerbitkan 1.984 Surat Keputusan, peta lahan sebanyak 3.474 lembar, dan luas penetapan 87 juta ha.

 

 

Sumber: Bisnis Indonesia