JAKARTA – Penambahan insentif bagi eksportir minyak sawit dan produk turunannya dinilai lebih tepat untuk memperkuat cadangan devisa nasional, selain melalui ketentuan pengunaan letter of credit (L/C).

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, kebijakan terbaru pemerintah mengenai ketentuan penggunaan letter of credit (L/C) akan menarik para eksportir untuk menaruh dana hasil ekspor (DHE) ke dalam negeri.

Dia pun meyakinkan pemerintah bahwa mayoritas pengusaha sawit dalam negeri telah memindahkan dananya ke Tanah Air.

“Hanya saja untuk mengubahnya dari valuta asing ke rupiah, tidak serta merta bisa dilakukan. Sebab; para eksportir sawit, memiliki jadwal atau agenda terkait dengan operasional perusahaan, sehingga untuk mengonversi valasnya butuh waktu,” katanya saat dihubungi Bisnis, Senin (24/9).

Dia menilai, selain melalui L/C, pemerintah dapat menggenjot arus masuk DHE untuk memperkuat devisa nasional dengan memberikan insentif tambahan.

Insentif tersebut, terutama dari sektor kelapa sawit, akan membuat jumlah DHE yang dipulangkan menjadi lebih besar.

Menurut Joko, salah satu insentif yang diharapkan oleh eksportir sawit dari pemerintah adalah pembukaan kembali akses pasar di sejumlah negara atau kawasan tujuan ekspor yang mulai tertutup.

Dia menyebutkan tujuan ekspor yang dimaksud adalah Uni Eropa yang mengurangi penggunaan biodiesel dan India yang memberlakukan bea masuk impor yang lebih tinggi atas produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Kebijakan terbaru Negeri Bollywood tersebut, menurut Joko, membuat ekspor CPO ke negara tersebut tereduksi 30% pada tahun ini.

Situasi di UE dan India tersebut diperparah oleh penurunan ekspor CPO ke sejumlah negara tujuan utama seperti Pakistan dan Amerika Serikat.

Biasanya pada saat harga minyak sawit murah, Pakistan akan membeli sebanyak-banyaknya akan tetapi tidak untuk masa ini karena Pakistan sedang di ambang krisis ekonomi karena defisit neraca perdagangan yang sangat besar.

HAPUS PUNGUTAN

Selain membuka akses pasar, dia meminta agar pungutan ekspor kelapa sawit dihilangkan untuk sementara waktu.

Insentif tersebut akan membantu produk sawit Indonesia bersaing di kancah global dengan produk sawit dari Malaysia, yang telah menghapuskan pungutan ekspor/ bea keluar sawit.

Senada dengan Gapki, Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Juwono mengatakan, para eksportir akan lebih sukarela untuk memulangkan DHE ke dalam negeri apabila diberikan insentif alih-alih diberikan aturan yang mengikat.

“Berikanlah insentif atau kemudahan baru, supaya eksportir ini sukarela untuk menaruh valas DHE-nya ke dalam negeri dan bahkan mengubahnya ke rupiah. Kalau pendekatannya aturan dan sanksi, psikologisnya di tingkat eksportir akan berbeda, sehingga efeknya juga tak maksimal,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Pieter Abdullah mengatakan, kebijakan terbaru mengenai L/C untuk ekspor barang tertentu akan membuat eksportir harus menaruh DHE miliknya di dalam negeri.

Namun, upaya tersebut tidak akan berdampak signifikan jika tidak dibarengi dengan ketentuan mengubah valas DHE ke rupiah.

“Pasalnya, saat ini Bank Indonesia belum mengubah undang-undang [UU)1 Lalu Lintas Devisa. Selama masih ada aturan tersebut, tanpa adanya insentif yang Iebih menarik dari sisi perbankan-seperti pemberian rate yang menarik-DHE itu akan tetap dalam bentuk valas,” katanya.

Sekadar catatan, Kementerian Perdagangan baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 94 Tahun 2018 tentang Ketentuan penggunaan Letter of Credit (L/C) untuk ekspor barang tertentu.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, Permendag ini diundangkan pada 7 September 2018 dan akan berlaku pada 7 Oktober 2018.

“Penerbitan Permendag Nomor 94 Tahun 2018 ini merupakan salah satu upaya untuk memperkuat cadangan devisa negara di tengah-tengah ketidakpastian ekonomi global,” tegasnya dalam siaran pers, Senin (24/9).

Terdapat empat sektor usaha yang diwajibkan menggunakan L/C, yaitu mineral, batu bara, kelapa sawit, minyak dan gas bumi.

Dalam Permendag tersebut juga ditetapkan pokok-pokok pengaturan, yaitu kewajiban pembayaran ekspor barang tertentu dengan L/C, kewajiban penggunaan bank devisa di dalam negeri atau lembaga pembiayaan ekspor yang dibentuk pemerintah, serta kewajiban mencantumkan cara pembayaran L/C pada pemberitahuan ekspor barang (PEB).

Selain itu, diatur pula mengenai kewajiban penyampaian surat pernyataan bermeterai, kewajiban verifikasi oleh surveyor, serta kewajiban penyampaian laporan realisasi ekspor yang dilengkapi dengan harga final L/C.

Dalam Permendag tersebut, diatur pula mengenai penentuan harga, yaitu harga yang tercantum dalam L/C paling rendah sama dengan harga ekspor dunia.

Enggartiasto mengatakan, apabila tidak ada, maka harga yang digunakan akan ditetapkan oleh pemerintah/negara tujuan ekspor.

“Selain itu, bagi kontrak yang sudah disepakati sebelum Permendag ini diterbitkan, dapat dilakukan penangguhan kontrak dengan ketentuan adanya persetujuan dari Menteri Perdagangan,” jelasnya.

Dia menegaskan, eksportir yang tidak memenuhi ketentuan cara pembayaran L/Cakan diberikan sanksi berupa teguran tertulis, pembekuan, sampai dengan pencabutan izin.

(Yustinus Andri)

 

Sumber: Bisnis Indonesia