Merdeka.com – Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Goreng Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat M Sinaga mengatakan produksi harga minyak makan merah atau dikenal dengan minyak merah, lebih mahal dibandingkan minyak goreng biasa. Hal ini dikarenakan nutrisi alami pada minyak merah tetap utuh.

Sahat mengatakan, saat masih berada di satu perusahaan nasional, pernah memproduksi minyak merah pada 1997. Namun, krisis moneter pada 1998 menyebabkan masyarakat tak ada lagi ada yang membeli minyak goreng bervitamin karena harga tinggi. Produksi pun berhenti.

Jika saat itu masih terdapat minyak merah di pasaran, minyak tersebut merupakan produksi asal Malaysia.

“Saat itu kami menggunakan teknologi yang mahal, molecular distillation, untuk dapat menjaga vitamin alaminya tetap berada di dalam minyak sawitnya,” ujar Sahat kepada merdeka.com, Kamis (13/10).

Menurutnya, proses pengolahan kelapa sawit menjadi minyak merah berbeda dengan proses minyak goreng biasa yang saat ini dikonsumsi. Ini pula menjadi penyebab harga minyak merah lebih mahal.

Pada 1997, saat perusahaan tempat Sahat bekerja masih memproduksi minyak merah, tim juga melakukan penelitian pasar dan pola penggorengan yang dikerjakan oleh Institut Pertanian Bogor.

Hasil dari penelitian menunjukan, nutrisi alami yang ada di minyak, bila dipanaskan di atas 120 derajat celcius untuk menggoreng, hanya sedikit yang masuk ke dalam makanan atau gorengan.

“Kebanyakannya nutrisi alami itu menguap ke udara,” ungkapnya.

Dia pun enggan mengomentari perihal target pemerintah bahwa harga minyak merah atau populer disebut minyak makan merah lebih murah dari harga minyak goreng biasa. “Itu harga bisa lebih rendah, pastinya sih beda teknologi proses atau investasinya,” ungkapnya.

Sebelumnya Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki menyebut harga jual minyak makan merah akan lebih murah dibanding minyak goreng curah atau kemasan sederhana. Minyak makan merah kemungkinan dijual Rp9.000 per liter.

Angka ini bisa dicapai karena proses produksi yang lebih singkat serta biaya produksi yang lebih murah. Kemudian, kapasitas produksi yang bisa dilakukan jauh lebih sedikit ketimbang minyak goreng pada umumnya.

“Pasti di bawah (harga) minyak goreng, di bawah Rp 14.000 per liter, harus di bawah, bisa Rp 9.000 (per liter). Murah lah ini solusi bagi masyarakat, solusi bagi petani, solusi bagi konsumen,” ungkapnya dalam konferensi pers di Kementerian Koperasi dan UKM, Jumat (26/8).