JAKARTA-Badan Pengelola Dana Perkebunan kelapa sawit (BPDPKS) menyatakan peserta program peremajaan sawit rakyat (PSR) disyaratkan mendapatkan sertifikasi Indonesia Sustainable palm oil (ISPO) untuk memastikan prinsip berkelanjutan. Hal itu karena program penanaman kembali {replanting) perkebunan sawit milik petani tersebut harus mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan, yang meliputi tanah, konservasi, lingkungan, dan lembaga.

Direktur Penyaluran Dana BP-DPKS Edi Wibowo mengatakan, untuk mendukung petani swadaya, solusi pemerintah salah satunya melalui program penanaman kembali sawit rakyat besar-besaran yang bertujuan membantu petani swadaya memperbarui perkebunan kelapa sawitnya dengankelapa sawityang lebih berkelanjutan dan berkualitas dan mengurangi risiko pembukaan lahan ilegal (Penggunaan Lahan Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan-LULUCF). Namun demikian, untuk memperoleh dukungan tersebut petani harus clean and clear terutama mengenai legalitas. “Petani sawit swadaya yang berpartisipasi dalam program ini harus mengikuti aspek legalitas tanah,” katanya dalam FGD Sawit Berkelanjutan Vol 7 bertajuk Meningkatkan Peranan Petani Sawit Rakyat Melalui Subsidi Replanting Aan Subsidi Sarana Prasarana.

Peremajaan sawit bertujuan meningkatkan produktivitas, standar produktivitas untuk program penanaman kembali di kisaran 10 ton tandan buah segar (TBS) per hektare (ha) per tahun dengan kepadatan tanaman lebih dari 80 pohon per ha. Sedangkan Program Pengembangan Sarana dan Prasarana Perkebunan kelapa sawit dimaksudkan untuk peningkatan produksi, produktivitas dan mutu hasil perkebunan kelapa sawit, meliputi bantuan benih pupuk, pestisida, alat paska panen, jalan kebun dan akses ke jalan umum dan atau ke pelabuhan, alat transportasi, alat pertanian, pembentukan infrastruktur pasar, serta verifikasi/ penelurusan teknis.

Sekjen Serikat Petani kelapa sawit (SPKS) Mansuetus Darto menyatakan, petani masih banyak yang belum memahami program PSR, dampaknya mereka melakukan peremajaan secara mandiri tanpa melalui program. Saat ini, bahkan petani sawit swadaya masih berpencar-pencar dan tidak adanya kelembagaan tani. “Pendampingan kurang memadai karena sumber daya manusia (SDM) dan pendanaan yang minim di tingkat kabupaten/dinas,” ujar dia.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia