JAKARTA- Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki) meminta Pemerintah Indonesia dapat menguatkan perjanjian dengan Pemerintah India agar ekspor minyak sawit ke negara tersebut dapat dipermudah. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat dalam dua tahun terakhir Indonesia telah kehilangan potensi ekspor minyak sawit (CPO) ke India hingga 2 juta ton karena berbagai hambatan, termasuk kenaikan tarif pajak impor yang ditetapkan negara tersebut.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menyebutkan, India mengandalkan lebih dari 50% konsumsi minyak dan lemak dari impor. Pada 2019, total impor minyak sawit India mencapai 10 juta ton, namun pangsa pasar Indonesia atau minyak sawit yang diimpor India dari Indonesia hanya 5 juta ton, jauh menurun dari 2017 sebesar 7,60 juta ton. Artinya, dalam dua tahun terakhir ini Indonesia sudah loss 2 juta ton ekspor ke India karena berbagai alasan. “Setelah kita lihat lanskapnya, bukan hanya palm oil, tapi perdagangan dalam arti luas, India bicara soal gula, farmasi, dan lainnya, itu yang perlu dikaji lebih detil. Jadi, untuk India ini perlu penguatan GtoGby letter of agreement, karena kelihatannya India ini sangat rewel dengan segala macam restriction,” kata Joko, kemarin.

India memang sudah memangkas tarif pajak impor CPO menjadi 37,50% dari 40%, pajak untuk berbagai produk olahan minyak sawit turun menjadi 45% dari 50%. Revisi pajak menjadi lebih rendah akan diberlakukan untuk hampir semua jenis minyak sawit impor. Indonesia dan Malaysia sebagai dua produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia menjadi diuntungkan dengan kebijakan ini. \’Tapi India juga mengubah status impor minyak sawit olahan dari free menjadi restricted. Kondisi tersebut tentu menjadi tantangan selanjutnya bagi pasar ekspor Indonesia ke India,” ungkap Joko saat webinar bertema Menjaga Pasar Ekspor Sawit di Kala Pandemi.

Data Kementerian Perdagangan menyebutkan, ekspor CPO dan produk turunannya ke India pada Januari-April 2020 tumbuh 11,20% menjadi 1,64 juta ton dari periode sama 2019. Dari sisi nilai, kinerja ekspor sawit itu naik 55,30% menjadi US$ 1,09 miliar. Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menilai, tren ekspor kelapa sawit dan produk turunannya masih kondusif di tengah kondisi perdagangan nasional yang terdampak pandemi Covid-19. Pemerintah optimistis terhadap prospek ekspor sawit ke depan, mengingat komoditas itu masih menjadi pilihan paling ekonomis sebagai sumber minyak nabati dunia dari minyak lain dari bunga matahari, rapeseed, dan kedelai. “Secara umum, ekspor kita dari kacamata global masih surplus, apalagi produk sawit ini satu dari sekian banyak komoditas yang masih surplus. Jadi, kondisi ini (ekspor) masih kondusif,” kata Jerry.

Merebaknya Covid-19 pada akhir 2019 telah berdampak pada perdagangan nasional, termasuk ekspor minyak sawit dan turunannya. Indonesia juga menghadapi hambatan ekspor lain, yakni di pasar Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Di pasar AS, ekspor biodiesel Indonesia dikenai anti-dumping dan anti-subsidi dengan total margin 126,97-341,38%. Sementara di pasar UE, ekspor biodiesel Indonesia juga dikenai anti-subsidi oleh otoritas UE dengan pungutan bea masuk 8-18%.

Pasar Pakistan

Sementara itu, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Islamabad terus menjalin komunikasi dengan para pelaku usaha dan importir produk Indonesia di Pakistan guna mengamankan pangsa pasar minyak sawit di negara itu. Guna mengamankan pangsa pasar sawit Indonesia di Pakistan, KBRI Islamabad, Selasa (16/6), menggagas pertemuan virtual dengan Pakistan Vanaspati Manufacturer\’s Association (PVMA) dan importir minyak sawit Pakistan. Pertemuan itu dihadiri Sekjen PVMA Umer Islam dan Direktur Wahid Group Fahad Wahid.

PVMA dan KBRI Islamabad sepakat mengenai pentingnya kerja sama dari industri sawit kedua negara untuk melaksanakan program promosi citra kelapa sawit Indonesia sebagai produk ramah kesehatan dan lebih efisien dari minyak goreng lainnya melalui saluran televisi di Pakistan, sebagaimana yang telah sering disinggung oleh kalangan industri sawit kedua negara. “Kami akan mendukung sekaligus mendorong agar langkah pengamanan pangsa pasar sawit yang dilakukan ini dapat berhasil,” kata Dubes Iwan Amri. Dubes RI juga menyampaikan, sinergi forum eksportir dan importir kelapa sawit Indonesia-Pakistan palm oil Joint Committee (IP JPOC) yang telah dibentuk pada 2017 atas prakarsa KBRI Islamabad akan diintensifkan.

Selama periode Januari-Mei 2020, impor minyak sawit Pakistan mengalami penurunan 10,31% dari periode sama tahun sebelumnya. Total impor minyak sawit Pakistan pada lima bulan pertama 2020 hanya 1.174.961 ton atau turun 135 ribu ton dari periode sama 2019 sebesar 1.310.042 ton. Penurunan itu di antaranya karena penyebaran Covid-19. Namun, minyak sawit Indonesia masih menguasai pasar di Pakistan. Pada Mei 2020, tercatat 92,41% (194.152 ton) impor minyak sawit Pakistan berasal dari Indonesia dan sisanya 7,59% (15.949 ton) diimpor dari Malaysia.

PVMA menyampaikan masalah yang tengah dihadapi oleh kalangan industri vanaspati ghee yang bahan bakunya terbuat dari minyak sawit. Sebuah lembaga otoritas pengawasan kesehatan produk makanan, Punjab Food Authority (PFA), kembali akan memberlakukan pelarangan produksi vanaspati ghee di wilayah Punjab (provinsi dengan jumlah penduduk terbesar kedua setelah Sindh) mulai Juli 2020. PFA berdalih bahwa kebijakan dimaksud diambil berdasarkan rekomendasi panel di mana vanaspati ghee dianggap berpotensi menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan. “Kami akan menempuh jalur hukum, sebagaimana yang pernah kami lakukan pada kali pertama terhadap upaya pemberlakuan pelarangan oleh PFA pada 2018,” kata Sekjen PVMA Umer. (tl/ant)

 

Sumber: Investor Daily Indonesia