Penelitian emisi CO2 pada alahan gambut tropis di Indonesia dan Malaysia susah banyak di lakukan anatara lain oleh Murayama dan Bakar (1996), Hadi, et.al (2001), Melling, et.al (2005, 2007) dan Germer dan Sauaerborn (2008), Sabiham, et.al (2012), Sabiham, 2013. Hasil penelitian tersebut mengungapkan emisi CO2 dari lahan gambut tropis bervariasi baik akibat variasi lahan gambut itu sendiri maupun perbedaan vegetasi.

Secara keseluruhan hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa emisi CO2 lahan gambut yang masih hutan (huta gambut, hutan gambut sekunder), lenih tiggi dari pada emisi CO2 lahan gambut yang sudah di jadikan pertanian (sawah, kelapa sawit). Bahkan emisi COdari perkebunan kelapa sawit gambut lebih rendah dari emisi CO2  sawah gambut maupun hutan gambut.

Bahkan hasil studi Melling, et.al. (2007) mengungkapkan bahwa secara netto perkebunan kelapa sawit dilahan gambut dalam (deep peat landBukan sumber emisi maupun penyerap CO2 (bila dikoreksi emisi CO2 dari dekomposisi dan respirasi mikroorganisme yang secara alaimah ada dilahan gambut). Pengelolaan lahan gambut dengan menambah bahan mineral amelioran yang mengandung Fe2, O3dan adanya understory cover crop (sebagaimana standar kultur teknis budidaya kelapa sawit gambut Indonesia) dapat menurunkan fluks (emisi) CO2 (Sabiham, et.al.2012).

Emisi CO2 dari Berbagai Penggunaan Lahan Gambut Tropis

Land Use Gambut Rataan Emisi Ton CO2/ha/Tahun Peneliti 
Huatan Gambut Tropis 78,5 Melling,et.al. 2007
Hutan Gambut Sekunder 127 Hadi, et.al. 2001
Sawah Gambut 88 Hadi, et.al. 2001
Kelapa Sawit Gambut 57,06 Melling, et.al. 2007
Kelapa Sawit Gambut 55 Melling, et.al. 2007
Kelapa Sawit Gambut 54 Muryama and Bakar . 1996
Kelapa Sawit Gambut 31,4 Germer and Sauaerborn. 2008

 

Selama ini berkembang pandangan bahwa dengan membuka lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan stok karbon (carbon stock) pada lapisan atas gambut akan terdekomposisi sehingga mengurangi stok karbon. Pandangan tersebut ternyata tidak selalu benar. Stok karbon perkebunan kelapa sawit gambut makin meningkat (pada lapisan atas) dengan bertambahnya umur tanaman kelapa sawit. Pada usia 14-15 tahun ternyata stok karbon dalam tanah justru melampaui stok karbon hutan gambut sekunder bahkan mendekati stok karbon pada hutan primer.

Perbandingan Stok Karbon Bagian Atas Lahan Gambut dan Perkebunan Kelapa Sawit Gambut

Land Use Gambut Stok Karbon (ton C/ha)
Hutan Gambut Primer 81,8
Huatan Gambut Skunder 57,3
Kelapa Sawit
1.       Umur dibawah 6 Tahun 5,8
2.       Umur 9-12 Tahun 54,4
3.       Umur14-15 Tahun 73

Sumber: Sabiham,S. 2013. Sawit dan Lahan Gambut dalam Pembangunan Kebun Kelapa Sawit Indonesia. Himpunan Gambut Indonesia.

Hasil-hasil penelitian tersebut menujukan bahwa, pemanfaatan lahan gambut yang telah rusak (degraded peat land) untuk pertanian termasuk perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi GHG, asalkan dilakukan dengan cara-cara/kultur teknis yang benar. Atas dasar itulah pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian termasuk perkebunan tidak dilarang di Indonesia.

Kultur teknis pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit. Kemudian, untuk memastikan penerapan kultur teknis tersebut dievaluasi memalui Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan?OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Plam Oil/ ISPO).

Sumber : Indonesia Dan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Isu Lingkungan Global, GAPKI 2013.

Sumber: Sawitindonesia.com