Nalar umum (common sense) saja sangat mudah memahami bahwa tanaman apapun diplanet bumi ini berfungsi sebagai pelestarian lingkungan hidup. Tidak ada satu teori pun yang mengatakan tanaman itu merusak lingkungan. Tumbuhan/tanaman diciptakan tuhan. Bahkan sebaliknya, kita diminta menanam tanaman apa saja untuk perbaikan lingkung. Gerakan tanam sejuta tanaman/pohon sejak dahulu sering digerakan oleh para pejabat termasuk aktivitas lingkungan. Dinegara-negara Arab yang banyak gurun, justru sedang berupaya dihijaukan dengan menanam tanaman termasuk tanaman palma yakni kurma.

Indonesia sejak tahun 1911 (104 tahun silam) sudah mengembangkan perkebunan kelapa sawit yakni di Pulu Raja (Asahan, Sumatera Utara), Tanah Itam Ulu (Kab. Batubara, Sumatera Utara) dan Sei Liput (Aceh) yang sampai sekarang masih tetap kebun sawit dan tidak berubah menjadi gurun. Bahkan sebaliknya kebun sawit yang ada justru produktivitasnya semakin meningkat.

Banyak penelitian juga membuktikan bahwa biomas (salah satu komponen penting kesuburan lahan) pada kebun sawit meningkat dengan semakin tua umur kelapa sawit. Chan (2002) mengungkapkan bahwa dengan semakin tua umur kelapa sawit volume biomas yang terbentuk makin menigakat. Tanaman kelapa sawit umur 4 tahun, menghasilkan biomas sekitar 40 ton per hektar/tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 93 ton per hektar/tahun umur 15 tahun. Pada saat umur 24 tahun (umur peremajaan kembali) volume biomas mencapai puncak yakni sekitar 113 ton/ha/tahun. Dan ketika diremajakan kembali, biomas tersebut dibiarkan dilahan untuk kesuburan lahan.

Kemudian, dari biomas yang dipanen berupa buah sawit (Tandan Buah Segar) sebagian besar kembali kelahan. Jika produksi buah sawit 24 ton/ha/tahun, maka minyak sawit yang diambil (dijual) hanya sekitar 5 ton dan 19 ton sisanya merupakan biomas yakni berupa atandan kosong, cangkang dan lumpur (sludge) yang semua dikembalikan ke lahan agar tetap subur.

Selain dari penambahan biomas tersebut, untuk mempertahankan kesuburan lahan juga dilakukan penambahan kesuburan lahan melalui pemupukan sesuai dengan umur dan produktivitas tanaman. Kandungan biomas yang makin meningkat bukan hanya terjadi pada biomas diatas tanah (above ground biomas) tetapi juga didalam tanah zona perakaran kelapa sawit.

Semakin tua umur kelapa sawit semakin meningkat bahan organik yang tersimpan di dalam biopori tanah. Dengan demikian jika bahan organik tetap dikembalikan ke tanah, kesuburan tanah dikebun kelapa sawit tentu tidak mengalami penurunan. Selain itu, sistem pengelolaan perkebunan kelapa sawit dimana pemberian pupuk didasarkan pada prinsip minimal mengganti hara yang terikut dalam TBS yang dipanen, maka kemungkinan penurunan kesuburan tanah menjadi gurun hampir tidak mungkin.

Pengalaman Amerika Serikat dengan kebun kedelainya juga dapat menjadi analogi. Kebun kedelai Amerika Serikat saat ini yang luasnya 34 juta hektar, sudah berumur lebih dari 100 tahun. Kebun kedelai hanya menghasilkan biomas yang jauh lebih kecil (sekitar 20 persen) dari biomas yang dihasilkan kebun sawit. Apakah kebun kedelai Amerika Serikat sekarang berubah menjadi gurun-tandus? Tentu tidak bukan. Jika kebun kedelai yang biomasnya hanya sedikit saja kembali ke lahan (dibandingkan kebun sawit) tidak menjadi gurun, tentu kebun sawit tidak akan jadi gurun.

Sumber : Mitos vs Fakta, PASPI 2017

 

Sumber: Sawitindonesia.com