ANGGOTA Komisi VI DPR Erico Sotarduga berkeyakinan bahwa Indonesia masih punya waktu untuk menambal defisit transaksi berjalan di tahun ini. Caranya, dengan memperluas pasar ekspor minyak sawit (crude palm oil/CPO). Perluasan pasar ini dapat dilakukan melalui negosiasi secara B to B dengan negara importir serta menghapus pungutan ekspor.

“Dalam kondisi seperti saat ini. Pemerintah perlu fleksibel dalam menerapkan berbagai kebijakan. Termasuk menghapus pungutan ekspor 50 dolar AS per ton minyak sawit dan 30 dolar AS per ton produ Jc turunan ekspor. Dengan begitu, surplus perdagangan akan ikut terdorong,” kata politisi muda PDIP ini, kemarin.

Ia yakin, penghapusan pungutan ekspor efektif untuk mendongkrak perluasan pasar. Sebab, posisi CPO dalam peta persaingan minyak nabati dunia semakin atraktif.

“Mau diadu dengan dengan minyak nabati mana pun. seperti kedelai dan biji bunga matahari.

CPO tetap menjadi pilihan bagi banyak negara importir. Dari segi harga, menarik. Indonesia juga mempunyai potensi komoditas yang tidak terbatas,” jelas dia.

Saat ini saja, lanjut dia, potensi permintaan terutama dari China, diperkirakan naik 2 juta ton. Selain itu, permintaan dari India dan Afrika juga mengalami peningkatan cukup signifikan. “Kesempatan ini harus dimanfaatkan. Ini berpotensi meminimalkan defisit perdagangan.”

Terkait aturan penggunaan energi biodiesel alias B20 pada sektor non public service obligation (PSO) per 1 September 2018, Erico menyatakan sangat setuju. Sebab, penerapan itu bisa mengurangi impor BBM. Indonesia bisa menghemat 21 juta dolar AS per hari. Jika 21 juta dikali 120 hari alias 3 bulan ke depan, sama dengan 2,5 miliar dolar AS.

“Angka ini bisa menutupi sebagian defisit. Apalagi jika pasar ekspor CPO bisa meningkat. Neraca perdagangan justru berpeluang untuk surplus,” urainya.

Dalam rangka perluasan pasar ekspor, sambung dia, Indonesia dan Malaysia bisa melakukan kampanye global secara bersama terkait pemanfaatan biodiesel sebagai energi baru terbarukan yang ramah lingkungan. “Dari sisi kesehatan, perlu dikampanyekan sawit sebagai minyak sehat dengan kandungan omega 3, vitamin E, dan vitamin K.” tandasnya.

Anggota Fraksi Partai Golkar Firman Subagyo menguatkan pernyataan Erico. Menurutnya. Pemerintah harus menunjukkan komitmen keberpihakan melalui insentif serta berbagai regulasi yang mendukung peningkatan ekspor. Terlebih, sawit masih diandalkan sebagai penghasil devisa ekspor terbesar.

“Salah satu insentif yang bisa diberikan adalah menunda pemberlakukan pungutan ekspor 50 dolar AS per ton minyak sawit dan 30 dolar AS per ton produk turunan untuk mengurangi beban industri. Jika nilai tukar telah membaik, pungutan ekspor nantinya bisa diberlakukan kembali,” ujarnya.

 

Sumber: Rakyat Merdeka