Kementerian ESDM menyatakan PT Pertamina masih mengkaji proyek perbaikan dua kilang agar dapat menghasilkan green diesel atau solar yang diolah dari minyak mentah nabati murni. Jika kilang domestik dapat memproduksi green diesel, maka impor solar bisa dihilangkan.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, green diesel berbeda dengan biodiesel yang kini beredar di pasar. Biodiesel dihasilkan dengan mencampur solar dengan unsur nabati (fatty acid methyl eter/FAME), sementara green diesel dihasilkan dari pengolahan minyak nabati secara hydrotreated. Dari sisi kualitas, green diesel lebih bagus dan lebih ramah lingkungan dari biodiesel.
Saat ini, lanjutnya, Pertamina tengah mengkaji perbaikan dua kilangnya agar dapat menghasilkan green diesel, yakni Klang Plaju dan Dumai. “Yang saya terima laporannya dari Pertamina, apakah mengubah atau convert sebagian eksisting kilang, revamping kilang, atau membangun yang baru, itu masih dalam kajian,” kata dia di Jakarta, Jumat (12/10).
Arcandra menambahkan, jika kilang domestik dapat menghasilkan green diesel, maka manfaat yang diperoleh negara cukup besar. Pertama, Indonesia tidak pelu lagi mengimpor solar lantaran kebutuhan yang ada bisa ditutup dengan green diesel. Selain itu, impor minyak mentah juga dapat berkurang mengingat bahan bakar green diesel adalah minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
“Crude yang diolah di kilang kita bisa berkurang, karena apa, diganti dengan CPO. Bahan CPO diolah menjadi green diesel,” ujarnya.
Sebelumnya, Pertamina dan Eni telah meneken nota kesepahaman kerja sama terintegrasi, salah satunya potensi pengembangan kilang ramah lingkungan dan peluang bisnis perdagangan, baik migas maupun produk lainnya.
Menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, kerja sama ini merupakan komitmen perseroan dalam menyediakan bahan bakar ramah lingkungan. Perseroan menggandeng Eni lantaran keberhasilkannya mengkonversi kilang konvensional menjadi bio-refinery di Porto Maghera pada 2014 lalu, serta menjadi pelopor konversi kilang pertama di dunia.
“Kami akan menjajaki potensi konversi serupa untuk pengembangan kilang di Dumai dan Plaju, mengingat kilang tersebut berdekatan dengan sumber bahan baku green fuel, yaitu kelapa sawit Dalam hal ini juga, sebagai bentuk sinergi BUMN, Pertamina akan menjalin kerja sama dengan PTPN,” ujar Nicke. Kerja sama dengan PTPN guna memperoleh pasokan kelapa sawit
Sebagai informasi, sebagaimana dikutip dari lamannya, ENI merupakan perusahaan migas pertama di dunia yang menghasilkan green diesel dari kilang miliknya, yakni Eni Venice Green Refinery. Green diesel ini dihasilkan dari hidrogen murni, yakni hydrotreated vegetable oil (HVO), bukan methanol yang biasa digunakan untuk memproduksi biodiesel. Green diesel ini memiliki komposisi hydro-carburic penuh dan kandungan energi yang sangat tinggi.
Ditambahkan Nicke, kerja sama dengan Eni dalam pengembangan kilang ramah lingkungan ini juga sejalan dengan komitmen Pertamina dalam menjalankan program penyaluran biodiesel 20% (B20) dari pemerintah. Saat ini, perseroan telah menyalurkan B20.
Seperti diketahui, mulai 1 September lalu, pemerintah baru menerapkan perluasan mandatori biodiesel 20% (B20) mencakup sektor industri. Kebijakan ini merupakan langkah pemerintah untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah dan mengurangi impor produk bahan bakar minyak (BBM). Namun, bahan bakar jenis ini ternyata tidak cocok untuk semuajenis mesin, salah satunya untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) milik PT PLN (Persero).
Instruksikan PLN
Direktur Jenderal energi baru terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana menuturkan, Menteri ESDM Ignasius Jonan telah menugaskan PLN untuk mengganti bahan bakar PLTD dari solar ke CPO. Namun, perubahan bahan bakar ini membutuhkan investasi untuk mengubah teknologi di pembangkit listrik.
Meski demikian, konversi bahan bakar ini belum dipastikan apakah akan CPO murni atau green diesel seperti di Eropa. “Mereka (PLN) kaji dulu apakah seperti Eropa bio-refinery murni feedstock nabati atau dicampur. Opsinya bisa CPO murni juga. Kalau mau pakai kerangka BPDP bisa sawit saja,” kata dia.
Hingga sekarang, lanjutnya, masih dibicarakan lebih lanjut soal operasional konversi bahan bakar ini. Kementerian ESDM menginginkan hal ini bisa direalisasikan dalam dua tahun, mengingat ada mesin yang harus ditambahkan. Selain itu, konversi bahan bakar ini dilakukan sepanjang harga CPO tidak lebih mahal dari biodiesel.
“Berapa targetnya, kurang lebih 1,5-1,8 gigawatt (GW) dan itu sudah diketok, sepanjang harga CPO nya tidak lebih mahal dari biodiesel,” tutur Rida.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, green diesel memiliki karakter yang serupa dengan minyak solar. Sehingga, bahan bakar jenis ini dapat langsung dipakai di kendaraan bermesin diesel. Namun, lantaran proses pembuatannya perlu fasilitas hydrotreating, perlu kilang pengolahan sendiri untuk menghasilkan green diesel.
“Artinya perlu investasi tambahan untuk kilang produksi green diesel,” ujarnya.
Sumber: Investor Daily Indonesia