Kilang Pertamina siap memproduksi bahan bakar nabati (BBN) dari minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Dengan teknologi yang dimilikinya, Pertamina mampu memproduksi biodiesel hingga 100% atau B100 dari bahan baku sawit. Namun, agar penjualannya kompetitif, harga jual CPO ke kilang Pertamina tidak bisa semahal harga ekspor.

“Sekitar 50% biaya produksi B100 adalah bahan baku. Kalau harga CPO bisa ditekan, harga energi dari sawit akan kompetitif. Untuk bisa menekan harga CPO, diperlukan kebijakan khusus dari pemerintah,” kata Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi di Jakarta, Kamis (29/8) malam.

Untuk bisa mengalihkan CPO dari ekspor ke kilang BBN dalam negeri, menurut Nicke, diperlukan perubahan pandangan dari para pemangku kepentingan. CPO jangan lagi dilihat sebagai komoditas untuk diperdagangkan, melainkan sebagai bahan baku energi nabati di dalam negeri.

Selain itu, kata Nicke, sukses B100 sangat tergantung pada permintaan terhadap BBN. Produsen otomotif, mobil maupun sepeda motor hingga pesawat terbang harus merancang mesin kendaraan yang cocok dengan penggunaan biodiesel. Bila semua pihak mendukung, implementasi BIOO tinggal menunggu waktu.

Dia mengungkapkan, saat ini Pertamina sedang membangun kilang, baik untuk bahan bakar minyak (BBM) maupun untuk BBN. Dari kapasitas produksi 800 ribu hingga 900 ribu barel per hari (bph), produksi kilang Pertamina akan terus dinaikkan hingga 2 juta bph. Pada akhir 2026, semua kilang Pertamina sudah terbangun. Saat itu, Pertamina tak lagi mengimpor BBM, melainkan hanya minyak mentah.

Saat ini, Pertamina mengimpor sekitar 800 ribu bph minyak mentah karena produksi dalam negeri hanya 775 ribu bph. \’Tapi, tidak semua produksi dalam negeri itu dijual ke Pertamina,” ungkap Nicke.

Dirut Pertamina menjelaskan, mulai 2027 semua kebutuhan BBM dan BBN di dalam negeri dipenuhi kilang Pertamina. Sedangkan minyak mintah diperoleh dari dalam negeri dan impor.

Sejalan dengan kenaikan permintaan terhadap energi dan minimnya ladang migas baru, impor minyak mentah akan meningkat. Situasi akan berbeda jika B100 bisa diwujudkan.

Kalaupun konsumsi BBM masih besar dan kebutuhan minyak mentah diimpor, kata Nicke, Pertamina akan tetap untung karena kilang BBM yang dibangun akan jauh lebih efisien. “Dari setiap liter minyak mentah yang diproses di kilang Pertamina, ada keuntungan yang cukup signifikan bagi Pertamina akibat efisiennya kilang. Jika kita impor minyak mentah dan diolah di kilang sendiri maka ada keuntungan US$ 4 per barel,” papar dia.

Kebijakan Mandatori

Nicke Widyawati menegaskan, untuk memuluskan program B100 berbasis sawit, Pertamina membutuhkan kebijakan mandatori pasokan dan harga khusus untuk CPO. “Kalau kesiapan Pertamina, kami siap. Kalau ada komitmen pasokan, kemudian harga mandatori maka bisa bangun (kilang B100),” tandas dia.

Nicke menjelaskan, pemerintah menginginkan pemanfaatan biodiesel nantinya bisa mencapai biodiesel 100% (B100), tidak berhenti di biodiesel 30% (B30). Ketika memproduksi biodiesel dengan kandungan 20% dan 30%, Pertamina tinggal mencampur unsur nabati (fatty acid methyl esther/FAME) dengan solar. Namun, produksi B100 membutuhkan pembangunan unit kilang baru.

“Ini yang kemarin kami ada inisiatif dengan Eni (perusahaan migas asal Italia). Kami bisa (memproduksi) B100 melalui hydrotreating refinery,” tutur dia.

Hydrotreating refinery dimaksud adalah green refinery yang berhasil dibangun Eni di Porto Maghera, Italia, yakni Eni Venice Green Refinery. Sebagaimana dikutip dari laman Eni, green diesel ini berasal dari hidrogen murni, yakni hydrotreated vegetable oil (HVO), bukan methanol yang biasa digunakan untuk memproduksi biodiesel. Green diesel memiliki komposisi hydrocarburic penuh dan kandungan energi yang sangat tinggi.

Pertamina, kata Nicke, akan membangun unit baru kilang hijau di Kilang Plaju, Sumatera Selatan. Lokasi itu dipilih karena dekat dengan sumber ba-han baku CPO. Dengan dibangunnya unit kilang tersebut, CPO produksi nasional yang ditolak di beberapa negara di Eropa dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Intinya, Pertamina siap. Kalau ada komitmen pasokan, ada harga mandatori, kita bisa bangun kilang B100,” tandas dia.

Kendati demikian, Nicke Widyawati mengakui, tidak mudah merealisasikan program tersebut secara komersial. Soalnya, meski produksi CPO nasional memadai, hal itu tidak menjamin pasokan untuk kilang hijau Pertamina bakal aman. Itu karena CPO selama ini dijadikan komoditas untuk menambah penerimaan negara. Artinya, ketika harga di pasar tinggi, pengusaha CPO bakal memilih untuk menjual produknya ke luar negeri.

“Tantangannya di price kalau belum ada kebijakan DMO (domestic market obligation) untuk CPO. Bahwa kita tidak lagi men-treat kelapa sawit sebagai komoditas, tetapi bahan baku energi. Maka harus ada DMO dan harga khusus. Kalau CPO dibiarkan dengan volatility harga di pasar, kami sulit mengamankan feedstock. Kalau harga naik, itu akan menyulitkan jaminan suplai dan harga,” ujar dia.

Padahal, kata Nicke, sekitar 50% dari total biaya produksi green diesel berasal dari harga bahan baku (CPO). Dengan harga CPO saat ini di kisaran US$ 550 per ton, biaya produksi bahan bakar nabati tersebut bisa mencapai Rp 16.000 hingga Rp 18.000 per liternya.

“Kalau harga mau turun maka perlu diatur harga CPO-nya dan berikan insentif pajak. Karena biaya processing hanya 25%, sisanya 50% feedstock dan 25% pajak-pajak. CPO pun harus diubah dari awalnya sebagai komoditas menjadi bahan baku untuk energi,” papar dia.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian, menurut Dirut Pertamina, adalah pengguna bahan bakar tersebut. Sebelum program itu dijalankan, seharusnya industri otomotif menyiapkan mesin mobil yang dapat menggunakan B100.

Nicke menegaskan, pembangunan kilang hijau merupakan salah satu upaya Pertamina menuju kemandirian energi, selain menjalankan arahan pemerintah. Artinya, seluruh kebutuhan energi domestik dapat dipenuhi dari sumber-sumber energi di dalam negeri.

Kapasitas Kilang

Dirut Pertamina Nicke Widyawati mengemukakan, guna menuju kemandirian energi, Pertamina juga tengah menggarap enam proyek kilang sekaligus, baik unit baru maupun peningkatan kapasitas dan kualitas kilang yang ada. Pembangunan dua unit baru meliputi kilang di Tuban, Jawa Timur dan Bontang, Kalimantan Timur. Sedangkan perbaikan mencakup empat kilang existing yang tersebar di Balongan (Jawa Barat), Balikpapan (Kalimantan Timur), Dumai (Riau), serta Cilacap (Jawa Tengah).

Menurut Nicke, seluruh proyek kilang itu ditargetkan rampung pada 2026. Saat itu, kapasitas kilang perseroan akan meningkat dari awalnya 1 juta barel per hari (bph) menjadi 2 juta bph. Paling cepat, Proyek Kilang Balikapapan akan meningkat kapasitasnya pada pertengahan 2023.

“Dengan demikian, seluruh kebutuhan BBM akan dipenuhi dari kilang, tidak ada impor produk. Ini mulai setelah semua kilang selesai dibangun pada 2026,” tegas dia.

Berdasarkan data Pertamina, pada 2023 RDMP Balikpapan Fase I dan RDMP Balongan Fase I dijadwalkan mulai beroperasi. Saat itu, kapasitas kilang perseroan naik dari 1 juta bph menjadi 1,1 juta bph.

Selanjutnya pada 2025 proyek GRR Tuban dan RDMP Cilacap ditargetkan mulai beroperasi, sehingga kapasitas kilang Pertamina kembali naik menjadi 1,5 juta bph. Terakhir pada 2026, seluruh proyek kilang ditargetkan rampung, yakni GRR Bontang, RDMP Balikpapan Fase 2, RDMP Balongan Fase 2, dan kilang petrokimia Balo-
ngan.

Nicke Widyawati mengakui, Pertamina masih akan mengimpor minyak mentah. Sebab, begitu seluruh proyek kilang rampung, kebutuhan minyak mentah untuk pasokannya juga akan melejit dari saat ini 800-900 ribu bph menjadi 2 juta bph sesuai kapasitas kilang. Di sisi lain, produksi minyak mentah nasional cenderung menurun.

Dia menambahkan, mengimpor minyak mentah tetap akan lebih menguntungkan dibandingkan jika mengimpor produk bahan bakar minyak (BBM). “Jadi, tetap menguntungkan lebih banyak impor crude dibanding impor produk,” ujarnya.

Meski demikian, kata dia, Pertamina tidak akan membiarkan selisih produksi dan kebutuhan minyak mentah terus menganga lebar. Pertamina memiliki sejumlah strategi untuk menggenjot produksi minyak mentahnya. Pertama, yaitu meningkatkan produksi minyak dari aset existing di dalam negeri menggunakan teknologi pengurasan minyak tahap lanjut (enhanced oil recovery/EOR).

Kedua, Peramina akan melakukan eksplorasi guna menemukan cadangan minyak baru. “Namun, kegiatan eksplorasi membutuhkan waktu lama, yakni 7-10 tahun. Apalagi rasio keber-hasilkan eksplorasi migas di Indonesia selama ini cukup rendah, yaitu sekitar 30% saja,” tutur dia.

Untuk itu, menurut Nicke, Pertamina juga akan mengakuisisi aset migas. Adapun strategi ketiga Pertamina adalah menambah crude di overseas, seperti yang telah dilakukan di Aljazair dan negara lainnya. Minyak dari blok migas di negara lain akan dibawa ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan kilang domestik.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia