Bisnis, JAKARTA – Minyak kelapa sawit dan produk turunannya digadang-gadang kembali sanggup menopang pembalikan kinerja ekspor nonmigas Indonesia pada 2021, selama Malaysia masih mengalami disrupsi stok minyak nabati tersebut.

Seperti diketahui, performa harga minyak nabati global-termasuk minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO)-saat ini sedang menunjukkan taringnya.

Salah satu penyebabnya adalah gangguan pasokan dari Malaysia, selaku produsen CPO terbesar kedua dunia.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan gangguan pasokan di Malaysia membuka jalan bagi Indonesia untuk mendorong ekspor CPO dan produk turunannya karena produksi di Tanah Air cenderung tidak terganggu.

Untuk diketahui, stok minyak sawit di Malaysia pada awal 2021 diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu.

Data Malaysia palm oil Industry (MPOC) menunjukkan stok akhir CPO pada November berada di level terendah dalam 40 bulan terakhir dengan volume 1,56 juta ton.

Produksi minyak sawit di negeri jiran pun diperkirakan tetap terkoreksi setidaknya sampai Maret atau April 2021 akibat cuaca dan terbatasnya pergerakan pekerja di kebun.

“Peluang ekspor [CPO Indonesia] tetap besar karena produksi cenderung masih normal. Di Malaysia pembatasan ketat dan banyak pekerja di kebun mereka berasal dari Bangladesh dan Indonesia sehingga memengaruhi produksi,” kata Sahat kepada Bisnis, Kamis (7/1).

Selain gangguan pasokan CPO dari produsen tetangga, Sahat menjelaskan pasokan minyak nabati secara global memang ketat.

Terutama untuk kedelai dari negara-negara Amerika Selatan seperti Argentina dan Brasil yang produksinya terganggu akibat kekeringan yang terjadi.

“Harga kedelai memang terus naik dan diikuti pula oleh kenaikan harga CPO, tetapi harga CPO masih bersaing. Meski permintaan kedelai di pasar utama seperti China naik, pangsa minyak nabati tetap didominasi CPO,” kata dia.

Sahat memperkirakan ekspor CPO Indonesia tetap menguat pada 2021 dengan harga yang terjaga akibat kebijakan penyeimbang pasokan seperti mandatori bauran biodiesel 30%.

Analisis GIMNI memproyeksi ekspor pada 2021 tumbuh 8% menjadi sekitar 36,7 juta ton.

Sementara itu, produksi domestik ditaksir naik dari estimasi 56,34 juta ton pada 2020 menjadi 59,00 juta ton pada 2021.

Adapun, harga CPO berhasil menyentuh level tertingginya dalam 10 tahun terakhir.

Berdasarkan data Bloomberg, harga CPO berjangka pada perdagangan Rabu (6/1) untuk kontrak teraktif di Bursa Malaysia berada di posisi 4.040 ringgit.

Harga ini merupakan yang tertinggi sejak 2008 dan sepanjang 2021, harga CPO telah terapresiasi 3,83%.

JAGA MOMENTUM

Pada perkembangan lain, Kementerian Perdagangan pun berjanji akan menjamin kebijakan untuk minyak sawit tahun ini sejalan dengan upaya untuk mengendalikan harga komoditas tersebut di level internasional.

Dengan demikian, dampak positif dari kinerja komoditas ini terhadap ekspor nonmigas dapat berlangsung secara berkelanjutan.

Kemendag mencatat kelompok produk minyak nabati (HS 15) merupakan penyumbang surplus terbesar bagi RI sepanjang Januari sampai November 2020 dengan nilai US$17,91 miliar.

Harga rata-rata CPO yang menguat 27,95 % pada 2020 menyebabkan kontribusi komoditas terhadap ekspor nonmigas tumbuh pesat.

Nilai ekspor CPO dan turunannya naik 12,25% dari US$15,57 miliar pada Januari-November 2019 menjadi US$18,10 miliar pada Januari-November 2020.

Kenaikan nilai ini dirasakan meski volume ekspor CPO terkoreksi 7,56% dari 29,6 juta menjadi 27,36 juta ton.

“Kebijakan Kemendag tentunya tidak akan terlepas dari kebijakan menyeluruh pemerintah seperti komitmen melanjutkan B30. Dengan kebijakan ini kami harap dapat membantu mengendalikan harga internasional sehingga dampak positifnya dapat terjaga secara berkelanjutan,” kata Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Oke Nurwan saat dihubungi, Kamis (7/1).

Oke pun meyakini permintaan CPO tetap akan positif pada 2021 terlepas dari naiknya permintaan untuk kedelai dari destinasi utama minyak nabati Indonesia, yakni China.

Bagaimanapun, lanjut Oke, CPO masih memiliki keunggulan komparatif dari segi harga dengan pangsa ekspor terbesar.

Sekadar catatan, minyak sawit menyumbang 32% dari total produksi minyak nabati global.

“Peningkatan impor kedelai oleh China tidak akan memengaruhi kebutuhan CPO. Impor tersebut lebih karena kebutuhan pasokan kedelai lokal China menurun,” ujarnya.

Meski Kemendag bakal mendukung keberlanjutan penyerapan domestik lewat B30, Oke mengatakan perluasan ekspor ke pasar-pasar baru tetap tidak dikesampingkan.

Dia menjelaskan terdapat peluang ekspor ke negara-negara mitra nontradisional yang memperlihatkan kenaikan permintaan yang signifikan.

Hasil Pusat Kajian Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag menunjukkan kenaikan tertinggi terjadi di Kenya yang pada Januari-Oktober 2019 membukukan impor CPO senilai US$105 juta dan naik 123,8% menjadi US$235 juta pada periode yang sama tahun lalu. Peningkatan yang drastis pun diperlihatkan Vietnam dari US$171 juta menjadi US$337 juta pada Januari-Oktober 2020.

Di tempat terpisah, ekonom Bank Permata Jo sua Pardede memprediksi CPO Indonesia bisa
menguat sepanjang kuartal 1/2021 sebagai buntut dari tingginya harga kedelai global.

Masih terbatasnya pasokan kedelai dalam beberapa pekan ke depan dari pemasok utama seperti Argentina akibat kemarau yang dibawa La Nina disebut Josua akan mendorong negara-negara importir beralih ke minyak nabati lain yang lebih kompetitif.

“Harga kedelai yang tinggi secara tidak langsung akan ikut menopang harga CPO global. Hal ini disebabkan oleh proyeksi peralihan permintaan kepada CPO karena secara relatif, harga dari minyak kedelai lebih mahal. Peralihan ini akan ikut mendorong kenaikan volume ekspor CPO, terutama pada awal 2021,” kata Josua.

Dia pun memperkirakan harga CPO bakal stabil dan kuat sepanjang tahun sebagai imbas mandatori biodiesel yang dicanangkan pemerintah.

Di sisi lain, peningkatan produksi dia sebut akan menjadi penghambat utama reli harga komoditas tersebut.

Analisis dari Oil World memperkirakan produksi CPO Indonesia akan bertambah sekitar 3,5 juta ton, sementara produksi di Malaysia naik tipis 400.000 ton pada 2021.

“Dengan proyeksi kenaikan volume serta harga CPO, diperkirakan ekspor Indonesia masih akan ditopang oleh komoditas ini pada 2021,” lanjutnya.

Gangguan produksi di negara tetangga yang terjadi pada awal 2021 sebagai imbas La Nina, di sisi lain, bisa menjadi peluang bagi Indonesia.

Josua mengatakan permintaan untuk CPO asal Indonesia bisa meningkat karena terbatasnya pasokan dari Malaysia. Permintaan dari India dan China bakal memainkan peran penting bagi serapan produksi Indonesia.

“Dengan proyeksi tersebut, produksi CPO Indonesia yang diproyeksikan naik akan mengalami lonjakan permintaan. Hal ini tentunya akan mendukung produsen CPO di Indonesia,” kata dia.

Meski prospek ekspor komoditas ini menjanjikan, tak semua produsen di Tanah Air langsung bergegas mengejar peningkatan ekspor.

Senior Vice President of Corporate Communication Public Affair PT Astra Agro LestariTbk. (AALI) Tofan Mahdi mengatakan proyeksi harga CPO harus disikapi dengan hati-hati karena kondisi perekonomian belum sepenuhnya stabil.

“Apakah permintaan akan terus naik atau justru turun? [Hal itu] akan bergantung pada efektivitas penggunaan vaksin dalam mengatasi pandemi,” ujarnya.

Tofan mengatakan perusahaan bakal tetap mencari pasar-pasar potensial untuk digarap mengingat 60% produksi CPO diekspor ke luar negeri.

Adapun, destinasi utama ekspor AALI mencakup China, India, Pakistan, Bangladesh, Filipina, Korea Selatan, Kenya, dan Singapura. “Kami tetap melihat pasar-pasar potensial yang bisa digarap, baik itu pasar ekspor maupun domestik,” kata Tofan.

 

 

Sumber: Bisnis Indonesia