Perkebunan besar swasta (PBS) menegaskan taat terhadap semua aturan yang berlaku di Indonesia. Termasuk di antaranya kewajiban membangun atau bermitra dengan petani plasma. Bahkan hubungan keduanya saling menguntungkan.

HAL ini menanggapi soal wacana penambahan alokasi lahan kebun plasma yang semula 20 persen dari total luas area kebun yang diusahakan oleh perusahaan mencuat dalam debat pilpres kedua.

Calon pilpres no 2 Prabowo Subianto mengatakan, akan mendorong kembali program perkebunan inti rakyat (PIR) seperti pada zaman Orde Baru. Dia mengatakan, akan lebih berani memberikan alokasi lahan lebih dari 20 persen apabila terpilih sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Anggota Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Achmad Mangga Barani mengungkapkan, ketika menjabat sebagai Dirjen Perkebunan, dirinya mengini-siasi penerbitan Permentan No.26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Poin penting dari Permentan tersebut yakni kewajiban bagi PBS dan Perkebunan Besar Negara (PBN) untuk membangun kebun plasma sekitar 20 persen dari total konsesi yang dimilikinya. “Semangat dari regulasi ini agar rakyat juga menikmati keuntungan dari budidaya perkebunan sawit,” kata Mangga Barani, di Jakarta, kemarin.

Tapi perlu dicatat, kata dia, kebun plasma yang dibangun PBS dan PBN tersebut tidak berasal dari HGU (hak guna usaha) yang dimiliki PBS maupun PBN. “Artinya, kebun plasma itu, tanahnya milik masyarakat yang ada di sekitar kebun PBS maupun PBN,” katanya.

Mangga Barani menerangkan, sebelum 2007 tidak ada kewajiban bagi PBS maupun PBN membangun atau bermitra dengan petani plasma.

“Karena memang tidak ada aturan yang mewajibkannya. Apalagi Permentan Nomor 26/2007 tersebut tidak berlaku surut,” tandasnya.

Menurut Mangga Barani, telah terjadi simbiosis mutualisme antara pengusaha dan petani. Bahkan kata dia, petani plasma mendapatkan keistimewaan berupa harga tandan buah segar (TBS) yang lebih tinggi jika dibandingkan petani mandiri.

Bagi PBS. keuntungan yang didapat salah satunya ada kepastian pasokan TBS dari kebun plasma ke pabrik kelapa sawit (PKS) yang dimilikinya. “Jadi salah besar jika dikatakan perusahaan sawit dan PTPN tidak berpihak ke petani kecil,” tambahnya.

Menurutnya, soal regulasi budi dayasawitdi Indonesia hingga saat ini juga masih ada celah hukum terkait dengan kewajiban PBS dan PBN membangun kebun plasma. Pasalnya, Undang-undang Perkebunan yang telah diundangkan sejak 2014 hingga saat ini, belum memiliki Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaannya.

Sehingga kata dia, undang-undang, tersebut sulit dilaksanakan. Sementara Permentan No 26/2007 posisinya sangat lemah karena terbit sebelum ada Undang-undang Perkebunan. “Permentan Nomor 26/2007 ini cantelannya waktu itu tidak ada, waktu itu yang penting ada pemerataan terhadap pembangunan perkebunan sawit. Dan alhamdulillah para pengusaha mengikuti aturan ini,” katanya.

Oleh karena itu, kata Mangga Barani, untuk memberikan kepastian hukum terhadap fasilitasi pembangunan kebun masyarakat (kebun plasma), perlu segera dibuat peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Perkebunan dalam bentuk PP.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan, perusahaan kelapa sawit selalu patuh dengan regulasi yang diterapkan pemerintah Indonesia. “Pembangunan kebun plasma itu membutuhkan lahan. Sementara sejak 20 Mei 2011 pemerintah melakukan moratorium pemberian izin baru untuk pembukaan lahan,” Katanya.

Beleid ini, lanjut dia, tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 10/2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Menurutnya, sejak 20 Mei 2011 tidak ada izin baru yang dikeluarkan pemerintah untuk perusahaan swasta, sehingga bisa dipastikan tidak ada pembangunan kebun plasma baru.

Sumber Rakyat Merdeka