Semenjak diluncurkan tahun 2017 lalu, Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang didukung dengan dana hibah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), terus berlanjut.

Pada Oktober 2017 lalu diluncurkan untuk pertama kalinya dengan areal seluas 4000 ha, melibatkan petani sekitar 1.800 petani berlokasi di Musi Banyuasin, bahkan kabarnya untuk program peremajaan sawit rakyat di Musi Banyuasin ini bakal terus bertambah.

Lantas dilanjutkan November 2017 berlokasi di Serdang Bedagai Sumatera Utara dengan areal sekitar 9.100 Ha, melibatkan 4.400 Petani dan pada Mei 2018 berlanjut ke wiayah Riau, tepatnya Kabupaten Rokan Hilir, melibatkan petani sebanyak 5000 orang dengan areal seluas 15.000 Ha.

Program ini tercatat memiliki tujuan untuk meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat dan mendongkrak perekonomian masyarakat. Dikatakan Direktur Penghimpunan Dana, BPDP-KS, Herdrajat Natawijaya, penyaluran Dana PSR sampai saat ini telah sebanyak Rp. 706,90 miliar, dengan luas lahan sekitar 28.276 Ha. Jika rata-rata petani memiliki lahan sekitar 2 ha, maka penyaluran dana itu telah melibatkan sebanyak 14 ribu petani.

Lebih lanjut kata Herdrajat, sejatinya PSR lebih ditujukan untuk petani swadaya (mandiri), lantas baru menyasar petani plasma (kemitraan), ini dilakukan lantaran PSR tidak hanya sebagai upaya memperbaiki produktivitas kebun sawit tetapi juga memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit nasional.

Harapannya dengan PSR pengembangan kebun sawit rakyat menjadi lebih tertata dan terdata dengan baik, sekaligus memastikan apsek legalitas lahan dan petani tidak menggunakan areal kawasan hutan. Apalagi lahan petani swadaya lebih banyak areal yang harus diremajakan ketimbang areal yang dikelola petani plasma.

Kendati demikian dalam catatan BPDP-KS, petani plasma lebih siap ketimbang petani swadaya dalam mengikuti PSR. Ketidaksiapan petani swadaya mengikuti PSR lantaran luasan lahan yang dimiliki umumnya bervariasi, berpencar, usaha sendiri, dan masih banyak status lahannya berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT), sehingga sulit memenuhi standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Lebih lanjut kata Herdrajat, umumnya masih  kelompok tani, banyak belum berbadan hukum, belum bermitra dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. “Banyak tidak siap, tidak bankable, sebab itu dicari yang paling siap dengan perhatian khusus, perlu bermitra dengan perusahaan,” kata Herdrajat kepada InfoSAWIT, Senin (22/7/2019) di Jakarta.

Kesulitan petani swadaya dalam menghadapi PSR bisa dimaklumi, apalagi untuk mengiktui PSR perlu memenuhi beberapa sayarat yang telah ditentukan. Merujuk Permentan No. 7 Tahun 2019, pada Pasal 43 mencatat, pengajuan PSR mesti memenuhi syarat, petani diharuskan membuat minimal Kelompok Tani (Poktan) dengan jumlah anggota paling sedikit 20 orang, dengan hamparan luas lahan sawit sekitar 50 ha.

Lantas, melampirkan foto kopi identitas berupa Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP), memiliki rekening tabungan aktif, memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), kepemilkan lahan tidak dalam sengketa, lahan sudah Sertifikat Hak Milik (SHM), sebagai calon penerima dan calon lokasi (CPCL) yang ditetapkan oleh Kepala Dinas daerah kabupaten/kota atas nama bupati/walikota.

 

Sumber: Infosawit.com