Hibah BPDPKS sebesar Rp25 juta/ha untuk peremajaan kelapa sawit rakyat, menurut Ketua Asosiasi Petani Kelapa sawit Indonesia Sumsel yang juga Wakil Bupati Banyuasin , Slamet Sentono , selama ini hanya dinikmati petani plasma saja, padahal yang paling membutuhkan adalah petani swadaya.

“Sekarang ada dana BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) untuk peremajaan kelapa sawit rakyat dengan dana hibah Rp25 juta/ha. Sampai sekarang dana ini baru diberikan pada petani eks plasma saja, padahal yang paling membutuhkan petani swadaya. Petani plasma punya inti dan selama ini mereka masih dibina,” katanya.

Dana hibah Rp25 juta juga harus ditambah tabungan sendiri atau kredit bank Rp35 juta/ha. Inti ada yang masih ikut dalam peremajaan dan ada juga yang melepas. Di dalamnya juga ada komponen biaya hidup selama
tanaman belum berbuah.

“Dulu petani swadaya dengan hanya modal Rp5juta mampu membangun kebun sendiri dengan kelemahannya bibit asalan. Sekarang kalau Rp25 juta diberikan pada petani swadaya itu sudah cukup tanpa perlu tabungan sendiri atau kredit bank. Dengan dana sebesar itu bibit yang digunakan bersertifikat. Jatah hidup tidak perlu masuk dalam komponen peremajaan karena petani bisa mencari sendiri,” katanya.

Masalahnya adalah BPDPKS tidak percaya pada petani swadaya. Bila dana disalurkan pada petani swadaya takutnya tidak jadi kebun.

Secara umum keberpihakan pemerintah pada petani swadaya masih kurang. Contohnya Permentan nomor 1 tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Produksi Pekebun.

Pada waktu pembahasan, kepentingan yang masuk semuanya petani plasma sedang petani swadaya tidak.

“Sebagai ketua Apkasindo Sumsel waktu itu saya paling ngotot memperjuangkan masuknya kepentingan petani swadaya. Ketua Tim Prof Ponten Naibaho waktu itu menolak. Saya katakan ada tiga macam petani yaitu petani plasma, swadaya dan HGU. Permentan ini lebih banyak ditujukan untuk kepentingan “petani HGU”, sedang petani swadaya dimana-mana cenderung dimarginalkan,” katanya.

Karena tidak diterima akhirnya Apkasindo masuk melalui jalur DPR RI. Dengan melobi Ketua Komisi IV DPR RI, Edhy Prabowo akhirnya kepentingan petani swadaya bisa masuk. Syaratnya pekebun swadaya harus membentuk kelembagaan dan membuat perjanjian dengan PKS. Dengan cara ini maka petani swadaya bisa mendapatkan harga seperti petani plasma.

Saat ini program pemda Kabupaten Banyuasin adalah membentuk kelembagaan petani swadaya. “Kita kumpulkan petani
swadaya supaya membuat kelembagaan. Saya panggil juga PKS supaya membuat MoU untuk membeli TBS dari kelembagaan petani swadaya ini. Kalau tidak mau silakan keluar dari Banyuasin,” katanya.

Salah satu masalah yang dihadapi oleh petani kelapa sawit di Banyuasin adalah tumpang tindih lahan masyarakat dengan izin perkebunan. Saat ini ada sertifikat tanah milik masyarakat tahun 2002 dan 2006 yang ternyata di klaim masuk HGU perusahaan perkebunan.

\’Untuk tahun 2006 saya tidak bisa berbuat apa-apa karena camat yang menandatangani rekomendasi untuk penerbitan sertifikat sudah meninggal. Sedang tahun 2000 camatnya masih ada. Dia bilang jangan diurusin pak masalahnya terlalu rumit,” katanya.

Sebagai wakil bupati. Slamet minta sertifikat yang sama-sama diklaim asli itu dibawa ke Polda. Nanti dari hasil pengujian yang suratnya paling tua itu yang akan diakui pemerintah Kabupaten Banyuasin. “Tetapi sampai sekarang perusahaan tidak berani menunjukkan sertifikat aslinya,” katanya.

Perusahaan minta pemkab untuk mediasi. Opsinya lahan masyarakat diambil alih perusahaan dengan cara membeli. Opsi lainnya adalah pengurangan luas lahan yang akan di HGUkan yang lahannya dimiliki petani.

“Situasi ini terjadi karena pada masa lalu pemerintah sangat berpihak pada perusahaan. Tanah disini habis untuk izin perusahaan semua. Waktu itu oknum pemerintah mendapat fee Rpi juta untuk 1 ha. Sekarang dengan adanya moratorium perusahaan tidak bisa lagi ekspansi,” katanya.

Banyak HGU yang dibuat tanpa melihat kondisi lahan. Jadi sekarang pemkab harus melihat bagaimana sejarah HGU masing-masing perusahaan bisa terbit. Lahan sudah habis oleh perusahaan, ketika mau membangun plasma sebesar 20% lahannya milik masyarakat tidak ada. Ini yang menjadi sumber keributan.

Lahan yang ada sekarang adalah lahan sisa yaitu lahan gambut dan pasang surut. Lahan bagus adanya di hutan lindung. Sehingga perusahaan terpaksa membangun kebun plasma di areal HGUnya. Selain itu banyak perusahaan yang berdiri sebelum tahun 2007. Mereka tidak wajib membangun plasma dan umumnya kebunnya di lahan mineral yang bagus.

Saat ini perusahaan yang beroperasi adalah PT Daya Semesta Agro Persada, yang beroperasi sejak tahun 1997. Perusahaan selama ini tidak punya plasma dan baru membuka plasma tahun 2018 mengambil alih izin dari perusahaan lain yang tidak jadi membuka plasma di Kecamatan Air Kumbang sebesar 1.000 ha.

Kemudian PT Tunas Baru Lampung yang punya plasma. PT Andina Agro Plasma yang membuka kebun plasma dulu baru inti. Beberapa kebun plasma saat ini sudah ada yang harus diremajakan. Selain itu sudah ada yang lunas. Kebun plasma PTPN sudah waktunya diremajakan tetapi mereka masih enggan karena masih mendapat penghasilan Rp3-4 juta/bulan.

Yunus Wakil Ketua APKASINDO Sumsel menyatakan sebenarnya yang dominan adalah petani kelapa sawit swadaya. Mereka membangun kebun dengan biaya sendiri. Bibit yang digunakan ada yang bersertifikat dari perusahaan kecambah sawit yang resmi ditetapkan pemerintah. Ada juga benih spanyol atau separuh nyolong yaitu bibit yang dibeli dari pegawai perkebunan, terutama PTPN. Oknum karyawan PTPN diam-diam menjual bibit perusahaan kepada petani. Sedang yang lainnya adalah bibit mariles, bibit asalah dari kebun.

Kebun swadaya ini booming sejak tahun 2006. Semua orang berlomba-lomba menanam sawit karena harganya yang bagus dan melihat petani plasma sejahtera. Bahkan dura juga laku. Pada awalnya petani menanam sawit ditengah padi dan jagung.

Sumber: Mediaperkebunan