Faktor permintaan global menopang kinerja industri hilir sawit tahun ini. Kendati demikian, industri ini tetap di bawah bayang-bayang hambatan dagang.

Pada 2018, konsumsi minyak sawit di dalam negeri dapat menyentuh angka 12,759 juta ton, lebih tinggi dari tahun lalu yang sebanyak 11,056 juta ton. Pemakaian CPO domestik digunakan lebih dominan kepada industri pangan. Dengan rincian, sebanyak 8,414 juta ton untuk makanan dan specialty fats. Sementara itu, 845 ribu ton untuk oleochemical dan soap noodle. Lalu, 3,5 juta ton memenuhi kebutuhan biodiesel,” kata Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).

Merujuk dari data tersebut, ini berati industri hilir sawit tetap menjanjikan. Sahat Sinaga, menjelaskan industri hilir sawit tetap menarik di tahun ini baik untuk sektor minyak nabati, oleokimia, dan biodiesel.

Hal ini diungkapkannya dalam silaturahmi bersama media dengan tiga asosiasi industri hilir sawit yaitu Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), di Jakarta, Kamis (31 Mei 2018).

Sahat mengatakan ada sejumlah faktor yang mendukung pertumbuhan positif industri hilir yaitu produk biodiesel tidak lagi dibebani tarif tinggi oleh Uni Eropa, diplomasi dagang pemerintahan Joko Widodo yang sangat aktif,  tindakan retaliasi USA  dengan sejumlah negara seperti Tiongkok, Meksiko maupun Uni Eropa, dan menguatnya kurs mata uang Amerika Serikat. “Faktor inilah yang membawa angin segar bagi perdagangan sawit di pasar global,” kata Sahat.

Sekadar informasi tahun 2017 lalu, konsumsi domestik minyak sawit sebesar 11,056 juta ton. Penggunaan ini ditujukan kepada sektor makanan dan specialty fats sebesar 8,149 juta ton. Industri oleokimia  dan soap noodle sebanyak 688 ribu ton. Lalu biodiesel berjumlah 2,219 juta ton.

Oleokimia

Di tempat yang sama, Rapolo Hutabarat, Ketua Umum APOLIN, memproyeksikan volume ekspor produk oleokimia tumbuh 22% menjadi 4,4 juta ton, dibandingkan tahun lalu berjumlah 3,6 juta ton. Peningkatan ekspor oleokimia ditopang tren kenaikan konsumsi global produk oleokimia di sektor kosmestik, industri, ban, dan pengeboran minyak.

Di dalam negeri, menurut Rapolo, kegiatan ekspor semakin menarik karena ada investasi baru  oleokimia seperti PT Energi Sejahtera Mas dan Unilever. Seluruh faktor ini yang menopang pasokan industri oleokimia Indonesia ke pasar dunia. Nilai ekspor produk olekimia mencapai US$ 3,3 miliar  pada 2017.

“Tahun ini, kami perkirakan nilai ekspor naik menjadi 3,6 miliar dolar. Sampai triwulan pertama, volume ekspor oleokimia 1,1 juta ton dengan nilai perdagangan 915 juta dolar,”kata Rapolo.

Minyak goreng

Di segmen minyak goreng, produk minyak goreng curah akan beralih kepada kemasan. Sahat Sinaga memperkirakan proses transisi ini akan selesai pada 2019. “Nanti tahun 2020 tidak ada lagi minyak goreng yang dijual curah,”jelasnya.

Saat ini, pelaku industri minyak goreng menjalankan proses transisi dari proses produksi minyak goreng curah ke kemasan.

Transisi dari minyak curah ke kemasan, dijelaskan Sahat, akan berdampak kepada harga. Sebab, pelaku industri mengalokasikan investasi mulai dari mesin untuk pengemasan, ruang penyimpanan yang lebih besar, termasuk kotak (kardus) kemasan luar, dalam proses tersebut. “Kendati demikian, faktor penentu memang tetap harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Sebab,  biaya kemasan hanya berdampak sekitar 10-15%,” kata Sahat

Menurut Sahat, kegiatan transisi ini akan meningkatkan investasi pengemasan migor, karena pada tahun depan perusahaan akan sibuk membeli mesinfilling. “Dengan total volume 3,50 miliar kilogram minyak goreng curah yang dialihkan ke kemasan, katakanlah untuk 500 mililiter per kemasan akan dibutuhkan sekitar 1.850 unit mesin. Dengan harga sekitar Rp 600 juta per. unit mesin berarti bakal ada investasi triliunan rupiah,” kata Sahat Sinaga.

Sumber: Sawitindonesia.com