JAKARTA – Produksi crude palm oil (CPO) pada September diproyeksi meningkat sekitar 3,66% menjadi 4,25 juta ton dibandingkan dengan Agustus yakni 4,1 juta ton.

Peningkatan produk CPO tersebut bersamaan dengan hadirnya puncak produksi tandan buah segar berada pada bulan tersebut.

“September produksi CPO naik sedikit karena puncak produksi. Va, karena memang secara umum begitu, (panen) juga tergantung siklus hujan di beberapa tempat,” kata Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun, Jumat (5/10).

Derom mengatakan, hanya beberapa lokasi saja yang belum melakukan panen raya. Namun setelah September, yakni Oktober-Desember kemungkinan produksi TBS dan CPO akan menurun karena memasuki musim hujan.

Selain itu pada September, ekspor CPO juga akan meningkat dari angka Agustus sebanyak 2,75 juta ton menjadi 2,8 juta ton. Peningkatan tersebut disebabkan produksi sedang banyak dan pemasok tidak menahan harga. Hambatan dagang memang ada tetapi permintaan dari importir tetap masuk.

“Konsumsi dalam negeri juga meningkat pada bulan ini karena adanya permintaan dalam negeri untuk biodiesel. Karena program B20 jadi mereka harus mengambil bahan baku juga. Konsumsi dalam negeri pada Agustus 1,1 juta ton pada September 1,15 juta ton,” katanya.

Derom pun mengatakan, stok minyak sawit juga meningkat menjadi 4,8 juta ton dari 4,5 juta ton.

Berdasarkan hal tersebut Derom berharap regulator melakukan diplomasi yang lebih agresif ke luar negeri untuk mengampanyekan minyak sawit.

Pemerintah, katanya, sudah melakukan lobi terkait minyak sawit melalui keduataan besar di negara-negara pengimpor komoditas perkebunan Indonesia ini.

Namun, tambahnya, perlu lebih dari sekadar mengkampanyekan kebaikan minyak sawit karena beberapa pihak selalu punya amunisi untuk melawan balik dengan perspektif yang negatif.

“Kita juga perlu mempelajari balik tentang karakteristik minyak biji bunga matahari, minyak kedelai dan minyak rapeseed. Sehingga kita punya komparasi minyak nabati yang terbaik dalam kontribusi terhadap lingkungan,” katanya.

Derom menjelaskan setiap pohon kelapa sawit berumur 10 tahun bisa menyerap karbon 100 ton per tahun. Artinya 1 hektare kebun kelapa sawit yang biasa ditanami 130-140 pohon bisa menyerap sekurangnya 1.300 ton karbon per tahun.

Sementara itu kalau dibandingkan dengan tanaman kedelai yang hanya dapat menyerap karbon 5 ton dalam sekali masa panen, kelapa sawit jauh lebih lebih berkelanjutan dan ramah terhadap lingkungan.

Menurutnya antara negara juga perlu membandingkan produksi karbon per tahun. Indonesia, lanjutnya, termasuk rendah dengan 1,6 kg karbon per kapita per tahun sedangkan negara lain bisa 10 kg karbon per kapita per tahun.

“Kita ini perlu membandingkan keadaan di sana dengan di sini. Jangan hanya kebun sawit yang diperiksa sehingga mereka sadar juga punya kekurangan,” tegasnya.

Pelaku usaha persawitan, lanjutnya, selalu dituding dengan isu deforestasi tetapi menurutnya seluruh pihak perlu bersatu untuk menyuarakan bahwa kelapa sawit bisa menyerap karbon di udara.

Derom menyarankan agar lembaga internasional menentukan beban karbon yang harus dipikul oleh tiap negara untuk menyerap karbon. Dengan begitu, tiap negara memiliki tanggung jawab tersendiri untuk menjaga lingkungan dan tidak dibebankan hanya kepada satu negara.

“Kita bagi secara proporsional lahan minimum perhutanan setiap negara. Kalau hutan masih kurang kita minta mereka tambah dengan mengurangi lahan pertanian. Pemerintah kita perlu suarakan ini agar mereka juga sadar kita sudah jaga baik lingkugan dan hutan,” tegasnya.

 

Sumber: Bisnis Indonesia