Dewan Minyak Kelapa sawit Malaysia (Malaysian palm oil Board/MPOB) memperkirakan, produksi sawit bakal meningkat 800.000 ton pada tahun ini menjadi 20,3 juta ton, dari 19,5 ton pada tahun lalu.

Dilansir dari Bloomberg, Senin (19/8), produksi terlihat di level 10,5 juta ton pada paruh kedua tahun ini, sedangkan pada paruh pertama produksi crude palm oil (CPO) mencapai 9,8 juta ton.

Sementara itu, ekspor CPO Malaysia secara tahunan meningkat 4,4% menjadi 17,2 juta ton pada 2019. Pengiriman ke India meningkat 86% menjadi 2,6 juta ton pada paruh pertama 2019 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.

Adapun, pengiriman ke Uni Eropa meningkat 8,4% menjadi 1,12 juta ton, ke China meningkat 16% menjadi 1 juta ton. Sementara itu, persediaan terlihat mencapai 2,5 juta ton pada akhir 2019 dari 3,2 juta ton pada awal tahun.

Pada saat bersamaan, harga minyak kelapa sawit melemah pada Senin (19/8), melanjutkan pelemahan yang terjadi pada pekan lalu.

Data Bloomberg memperlihatkan, hingga pukul 14.28 WIB, harga CPO untuk pengiriman November 2019 di Bursa Derivatif Malaysia melemah 1,23% atau 27,00 poin menjadi 2.165,00 ringgit per ton, dari pelemahan pada level 2.184,00 ringgit pada sesi pembukaan.

Pada pekan lalu, harga CPO pun ditutup di zona merah, melemah 0,36% atau 8,00 poin ke posisi 2.192,00 ringgit per ton, dari level 2.225,00 ringgit per ton.

Pelemahan CPO, kemarin, tak lepas dari menguatnya mata uang ringgit terhadap dolar AS. Sebagai mata uang untuk bertransaksi CPO, penguatan ringgit membuat harga CPO lebih mahal bagi pemegang mata uang asing lainnya.

Berdasarkan data Bloomberg, ringgit sudah menguat sejak pekan lalu. Pada Senin (19/8), ringgit dibuka menguat 0,04% atau 0,0017 menjadi 4,1765 per dolar AS. Pada Jumat (16/8), ringgit ditutup di level 4,1782 per dolar AS atau menguat 0,39%.

Keperkasaan ringgit terjadi di tengah spekulasi bahwa FTSE Russel kemungkinan dapat menahan surat-surat utang Malaysia dalam indeksnya, setelah bank sentral meluncurkan serangkaian inisiatif pada pekan lalu.

Dalam perkembangan Iain, India, produsen CPO terbesar dunia memulai pemeriksaan pengiriman minyak sawit olahan dari produsen kedua di dunia tersebut. Keputusan tersebut tampaknya menjadi sentimen negatif bagi komoditas unggulan Indonesia dan Malaysia ini.

Kementerian Perdagangan India menyatakan, upaya tersebut menentukan apakah impor minyak sawit olahan yang lebih tinggi dari Malaysia merugikan penyuling minyak nabati domestik.

RAYU INGGRIS

Pada bagian lain, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad merayu Inggris untuk membuat kesepakatan dagang dengan negara-negara Asia Tenggara, terutama berkaitan dengan minyak kelapa sawit, usai meninggalkan Uni Eropa (UE) pada 31 Oktober.

“Kuncinya adalah memikirkan kembali kebijakan minyak kelapa sawit Uni Eropa yang salah arah,” kata Mahathir dalam opininya di Bloomberg, Senin (19/8).

Dilansir dari Reuters, pernyataan Mahathir ini tak lepas dari langkah UE untuk menyetop penggunaan dalam biofuel. Sebelumnya, sejumlah produsen sawit di Indonesia dan Malaysia menyatakan, mereka akan mengajukan komplain ke WTO.

“Sikap baru terhadap minyak kelapa sawit, yang tidak dibebani oleh kelompok-kelompok kepentingan khusus yang berpengaruh, dapat mengarah pada persyaratan yang lebih baik antara Inggris dan kawasan [Asia Tenggara] daripada yang dinikmati saat ini,” tulis Mahathir.

 

Sumber: Bisnis Indonesia