JAKARTA – Produsen biodiesel akan menyasar pembeli lama di pasar Eropa menyusul dicabutnya bea masuk anti-dumping oleh World Trade Organization.

World Trade Organization (WTO) resmi mencabut bea masuk anti-dumping (BMAD) yang diterapkan oleh Uni Eropa kepada ekspor minyak nabati termasuk biodiesel dari Indonesia.

Dengan dicabutnya bea masuk tersebut, diyakini akan menggairahkan kembali pasar ekspor biodiesel. Meski begitu tidak disebutkan siapa saja pembeli lama tersebut.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master Parulian Tumanggor mengatakan hasil ini akan meningkatkan kembali ekspor biodiesel selama beberapa tahun mendatang. Harga yang kembali mengikuti ketentuan pasar diyakini persaingan ekspor biodiesel akan lebih kompetitif.

“Kita cari pembeli-pembeli yang dulu, bagaimana pun harganya berapa pun permintaan, kita layani, yang penting harga kompetitif. (Apalagi) Kita bisa produksi sampai 11 juta ton,” katanya kepada Bisnis, Minggu (28/1).

Pengenaan BMAD selama beberapa tahun terakhir membuat produsen enggan mengekspor biodiesel ke Eropa. Pasalnya ketentuan bea masuk yang tinggi membuat harga jual tidak dapat bersaing dengan negara lain. Sehingga penyaluran cenderung menurun.

Berdasarkan data Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan mencatat, ekspor tertinggi biodiesel selama delapan tahun terakhir terjadi pada 2012 dengan nilai mencapai US$982,5 juta. Sementara itu, pada Januari – Novemer 2017, total ekspor menurun US$116,7 juta. Ekspor paling sedikit terjadi pada 2015 yang hanya US$14,8 juta.

Adapun volume ekspor biodiesel ke kawasan itu terbanyak juga terjadi pada 2012 mencapai 992.100 ton. Sementara pada 2013 sebesar 472.900 ton, 2014 turun 157.100 ton, 2015 hanya 28.200 ton, 2016 naik sebesar 43.000 ton hingga Januari -November 2017 mencapai 156.000 ton.

Dari data tersebut secara pertumbuhan periode 2016 -2017 meningkat drastis 262,7%. Meski begitu secara tren selama 2012 – 2016 mencatat angka yang kurang memuaskan yakni minus 59,7%.

Selama ini, produksi biodiesel di Indonesia mayoritas dikonsumsi dari pasar domestik. Misalnya pada Januari – November 2017.

Penggunaan biodiesel di dalam negeri mencapai 2,353 juta kiloliter, sementara itu ekspor hanya 179.000 kiloliter dari produksi mencapai 3,131 juta kiloliter. “Kita masih bisa ekspor sekitar 7 juta ton lagi. Yang penting harga tetap kompetitif,” kata Tumanggor.

KAMPANYE NEGATIF

Meski BMAD telah dicabut setelah putusan WTO, Tumanggor menilai hal ini tidak akan bertahan lama. Pasalnya Uni Eropa hingga kini masih mengupayakan untuk penghapusan minyak kelapa sawit sebagai Energi Terbarukan pada 2021.

Menurutnya, sikap Uni Eropa tidak adil karena hanya minyak berbahan kelapa sawit termasuk biodiesel saja yang akan dihapus pada 2021. Sementara minyak nabati lainnya baru akan dieksekusi pada 2030.

“Ini tidak adil, ini diskiriminasi. Kalau memang tetap ingin dihapuskan minyak kelapa sawit, harusnya sama dengan nabati lain pada 2030,” tegasnya.

Selain akan melakukan upaya diplomasi untuk menghentikan penghapusan ini, Aprobi kini masih berupaya menangkal kampanye negatif terhadap kelapa sawit yang terus didengungkan Eropa.

“Karena dampaknya bukan hanya biodiesel, tetapi juga CPO,” ujar Tumanggor.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyampaikan Indonesia berhasil memenangkan gugatan terkait BMAD yang dikenakan Eropa oleh WTO pada 26 Januari lalu.

Keputusan tersebut akan membuat produsen maupun eksportir biodiesel dapat kembali memasok minyaknya tanpa adanya tambahan bea masuk.

Uni Eropa menetapkan BMAD pada November 2013 sebesar 20,5% untuk produk biodiesel asal Indonesia. Sementara, Argentina dikenakan bea masuk sebesar 25,7% dan berlaku selama lima tahun.

 

Sumber: Bisnis Indonesia