Suplai minyak sawit nasional dipastikan mencukupi untuk menyongsong pengembangan B100 yang produksinya ditargetkan bisa dimulai pada 2022. Saat ini, dengan luas perkebunan kelapa sawit yang sudah tertanam 14 juta hektare (ha) produksi minyak sawit mencapai 52 juta ton, namun dengan peningkatan produktivitas hingga 1,50 kali lipat maka produksi minyak sawit pada 2022 akan mencapai sekitar 90 juta ton. Artinya, program B100 tetap bisa berjalan tanpa mengganggu ekspor minyak sawit khususnya minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta menjelaskan, saat ini luas perkebunan sawit tertanam 14 juta ha dan paling lambat tiga tahun ke depan bisa jadi luas tertanam menjadi 15 juta ha. Dengan asumsi produktivitas tanaman sawit nasional hanya 4 ton per ha maka produksi minyak sawit nasional hanya 60 juta ha, namun saat ini pemerintah sedang menggenjot produktivitas sawit khususnya milik rakyat dengan program peremajaan tanaman (replanting). “Kita pompa produktivitas tanaman sawit hingga 1,50 kali lipat atau minimal sama dengan Malaysia, sehingga nanti produksi minyak sawit nasional bisa sampai 90 juta ton dalam beberapa tahun ke depan. Saya rasa (suplai minyak sawit) cukup (sampai B100),” kata Arif Budimanta dalam program Hot Economy, Beritasatu News Channel, yang tayang Senin (10/2).
Arif menjelaskan, melalui program B20, B30, B40, dan B100 memang nantinya akan ada masalah trade off, tapi dampak positif dari B20, B30, B40, dan B100 jauh lebih besar. Saat ini, ekspor minyak sawit dan turunannya setiap tahun kurang lebih 36 juta ton dari total produksi 52 juta ton, ekspor 36 juta ton tersebut setara US$ 19 miliar. Dengan B20, B30, B40, dan B100, Indonesia bisa menekan impor minyak fosil olahan di luar gas sekitar US$ 20 miliar. “Dengan program B20, B30, B40, dan B100 artinya kita bisa menghemat devisa, dengan digunakan di dalam negeri berarti kita menyelamatkan banyak petani yang produksinya 40% dari total produksi nasional, juga stabilitas harga minyak sawit juga menjadi lebih baik,” ungkap Arif.
Dampak lebih besar dari program B20, B30, B40, dan B100, kata Arif Budimanta, adalah perbaikan neraca perdagangan sekaligus memperkuat perekonomian nasional. “Seperti yang disampaikan Bapak Presiden bahwa pengembangan B20, B30, B40, dan B100 akan berkontribusi dalam perbaikan neraca transaksi berjalan. Sekarang tantangannya tinggal bagaimana agar prinsipal otomatif melakukan adaptasi mesin, ini khusus untuk transportasi. Kalau untuk sektor industri dan rumah tangga banyak pilihan yang bisa digunakan tak harus sawit,” jelas dia.
Sumber: Investor Daily Indonesia