Direktur Eksekutif palm oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) Tungkot Sipayung menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu frustrasi dengan kebijakan anti sawit yang dikeluarkan Uni Eropa (UE). Indonesia cukup memperbesar pasar sawit domestik dengan mempercepat program pencampuran biodiesel 30% (B30) untuk menghadapi kebijakan UE.

Tungkot Sipayung menuturkan, Indonesia sebenarnya tidak perlu terlalu frustrasi dengan kebijakan anti sawit yang dikeluarkan UE. Alasannya, ekspor minyak sawit Indonesia ke UE hanya sekitar 3 juta ton per tahun, padahal peralihan dari biodiesel 20% (B20) ke B30 di Tanah Air mampu menyerap 3,50 juta ton minyak sawit setiap tahunnya. “Ini bukan kiamat, jangan juga tergantung dengan UE. Kalau toh nanti kebijakan itu benar-benar diterapkan maka Indonesia masih bisa melakukan protes ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena sebelum diundangkan UE harus melakukan notifikasi terlebih dahulu ke WTO,” ungkap Tung kot di Jakarta, kemarin.

Tungkot menuturkan, UE memang tidak secara langsung melarang penggunaan minyak sawit untuk biodiesel. UE hanya akan menghapus insentif atau subsidi bagi perusahaan yang memproduksi biodiesel berbahan baku sawit. \’Tapi ingat subsidi itu setara dengan Rp 3.000-6.000 per liter biodiesel, jadi memang UE tidak melarang sawit, tapi nanti mana ada perusahaan yang mau menggunakan sawit untuk bahan baku biodiesel kalau subsidinya dicabut,” ujar dia.

Kepada Investor Daily, Kamis (5/9), Tungkot Sipayung mengatakan, melalui Delegated Act soal ILUC (Indirect Land Use Change) yang mengacu pada renewable energy Directive (RED) UE memframing bahwa sawit adalah komoditas yang jelek karena dinilai berisiko tinggi terutama dalam penggunaan lahan. Kebijakan itu akan berlaku bertahap mulai 2023 dan berlaku penuh pada 2030. “Memang tidak langsung melarang tapi pasar bisa menangkap bahwa UE akan mem-phase out sawit,” jelas dia.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia