Tarif pungutan ekspor produk minyak goreng diusulkan turun. Usulan ini datang dari Menteri Perindustrian,  Airlangga Hartarto. Strategi meningkatkan daya saing produk hilir sawit di pasar global.

Pemerintah ingin memperluas ekspor produk hilir sawit ke pasar non tradisional seperti Afrika Timur. Tetapi bukan perkara mudah menembus pasar produk hilir di Afrika. Salah satunya, harga jual yang kurang bersaing dengan kompetitor seperti Malaysia.

Usulan pemangkasan pungutan ekspor (CPO Fund) produk minyak goreng datang dari Menteri Perindustrian RI, Airlangga Hartarto.  Kepada awak media, Airlangga mengajukan permintaan kepada Kementerian Keuangan serta Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit supaya tarif ekspor produk minyak goreng dapat diturunkan.

Tujuannya, kata Airlangga, supaya  ekspor produk minyak goreng dapat ditingkatkan nilainya.  Menurutnya,  kontribusi produk hilir sawit sangat signifikan keseluruhan ekspor produk sawit Indonesia. “Minyak goreng yang  termasuk produk hilir sawit seharusnya dapat  diangkat agar mendongkrak ekspor. Untuk itu, tarif pungutan selayaknya dapat  diturunkan,” kata Airlangga.

Usulan Menteri Airlangga direspon positif pelaku industri hilir sawit. Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengatakan pemerintah ingin meningkatkan ekspor  sawit sebagai upaya peningkatan devisa negara. Kunci meningkatkan ekspor adalah harga produk sawit di pasar global lebih kompetitif. Untuk menjadi berdaya saing, tarif pungutan ekspor hilir termasuk minyak goreng seharusnya dievaluasi kembali.

“Kami 1000 persen sangat setuju usulan tadi. Dan jangan dilupakan stok awal sawit pada Juni kemarin mencapai 4,5 juta ton,” kata Sahat dalam sambungan telepon.

Saat ini, produk hilir sawit seperti RBD PO terkena tarif US$ 30 per ton. RBD olein kemasan dan biodiesel dibebani pungutan masing-masing sebesar US$ 20 per ton. “Dengan tarif sebesar ini sulit untuk bersaing dengan Malaysia,”ujar Sahat.

Sahat mengusulkan tarif pungutan RBD Palm Olein (PO) diturunkan dari US$ 30 per ton menjadi US$ 20 per ton. Berikutnya, tarif RBD Olein kemasan juga dipangkas dari US$ 20 per ton menjadi US$ 2 per ton. Adanya selisih antara RBD PO dan olein kemasan bagian dari strategi memenangkan daya saing di pasar global .

Sahat menyebutkan  RBD olein kemasan dipangkas drastis untuk menembus pasar sawit di Afrika Timur. Jumlah negara di kawasan Afrika Timur mencapai 18 negara dengan jumlah penduduk 380 juta jiwa. Dengan estimasi konsumsi per kapita 2 kilogram per tahun. Ini berarti permintaan minyak goreng Afrika Timur dapat mencapai 6 juta ton.

Tetapi, tidak mudah mengapalkan minyak goreng di kawasan karena minim tanki penyimpanan (storage tank) skala besar. Itu sebabnya, kata Sahat, RBD olein kemasan lebih mudah untuk dikirim daripada bentuk bulk (curah). “Makanya Malaysia tenang-tenang saja. Mereka jual dalam packingan kontainer,” tambahnya.

Menurut Sahat, kalaupun ada  storage tank berkapasitas besar jumlah sekitar 2 atau 3 tanki  berlokasi di Kenya dan Madagaskar.   Selain itu, brand minyak goreng ini lebih mudah terkenal di pasar global. Dengan pengurangan dana pungutan, minyak goreng Indonesia bisa dibeli masyarakat Afrika Timur.

“Di Afrika Timur, biasanya yang membeli itu trader. Lalu mereka repacking lagi untuk dijual,” ujar Sahat.

Menurut Sahat Sinaga, tingginya permintaan minyak goreng di Afrika Timur dapat menjadi alternatif bagi pasar baru. “Tidak perlu kita bergantung kepada Eropa. Biarkan saja mereka seperti itu,” tambahnya.

Strategi lain adalam memperkuat hub di Pakistan. Menurut Sahat, hub ini dapat menjadi pintu masuk pasar Asia Tengah. Selain itu, katanya, jangan dilupakan proyek jalan sutra Tiongkok.

Melansir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor minyak sawit dan turunannya seperti minyak goreng tercatat US$5,87 miliar atau 9,99 persen dari total ekspor non migas sebesar US$58,74 miliar.

Menteri Airlangga menawarkan dua opsi untuk pemangkasan tarif  ekspor sawit. Cara pertama mengurangi persentase dan menghilangkan seluruhnya pungutan kepada produk minyak goreng kemasan. Tetapi, kata Airlangga, usulan ini akan dibahas detilnya.

Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, menuturkan bahwa usulan memotong tarif ekspor produk sawit dalam proses identifikasi permasalahannya. Sebab, pemerintah  berupaya mengatasi masalah perizinan supaya tidak membebani sektor  industri berorientasi ekspor. “Jadi kami identifikasi masalah-masalahnya.dari mulai masalah perizinan, bahan baku, bea masuk, bea keluar, perpajakan,”ujarnya.

 

Sumber: Sawitindonesia.com