Bisnis, MUSI BANYUASIN – Pengembangan komoditas kelapa sawit di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan, bak paket komplet. Kabupaten yang dipimpin Dodi Reza Alex Noerdin tersebut telah membuktikan bahwa perbaikan sektor hulu perkebunan bisa berlanjut hingga ke ranah penghiliran.
Keberadaan kebun sawit di Musi Banyuasin sudah ada sejak 1980-an, sehingga tak heran jika usia tanamannya sudah tergolong tua, berkisar di umur 25 tahun hingga 35 tahun.
Tentu saja produktivitas dari kebun-kebun tua tersebut merosot dan berpengaruh terhadap pendapatan petani.
Komitmen Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin (Pemkab Muba) untuk melibatkan petani sawit rakyat dalam pengembangan komoditas tersebut juga terus diterapkan.
Langkah tersebut bermula dari program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang dicanangkan pemerintah pusat. Pada 2017, Muba menjadi daerah proyek percontohan replanting untuk kebun sawit tua dan diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Tim Jelajah Komoditas Sumatra berkesempatan mengunjungi langsung lokasi tanam perdana PSR di Desa Panca Tunggal, Kecamatan Sungai lilin, beberapa waktu lalu.
Kebun sawit yang diremajakan pada 4 tahun lalu itu merupakan milik petani yang tergabung dalam Koperasi Unit Desa (KUD) Mukti Jaya.
Ketua KUD Mukti Jaya Bambang Gianto mengatakan bahwa ada 4.400 hektare kebun yang diremajakan dan dikelola oleh pihaknya bersama tiga koperasi lainnya. Hingga kini program PSR pun terus menjalar ke koperasi petani lainnya di Muba.
“Saat ini baru masuk masa panen awal, produksinya sekitar 500 kg- 700 kg per hektare. Namun, nanti setelah puncaknya target produksi bisa sampai 30 ton per hektare,” kata dia.
Menurut Bambang, PSR tak hanya berdampak pada peningkatan produktivitas kebun petani. Lebih dari itu, program replanting tersebut telah membuka gerbang baru untuk petani sawit terlibat di hilirisasi.
“Kami sudah berbenah di sektor hulu, tetapi dalam budidaya komoditas perkebunan di mana pun, nilai tambah untuk petani adanya di sektor hilir. Makanya kami bergerak ke sana,” katanya.
Apalagi, kata Bambang, saat ini biaya produksi kebun sawit cenderung meningkat. Dengan demikian, petani harus bisa menekan biaya produksi jika ingin untung di sektor hulu.
“Tetapi kalau di hilir tingkat keuntungannya lebih stabil. Akan lebih bagus lagi kalau petani dapat menghasilkan produk yang bisa dimanfaatkan sendiri, seperti minyak goreng,” katanya.
Maka dari itu, Bambang bersama 3.500 petani lainnya bakal membangun pabrik kelapa sawit (PKS). Mereka bekerjasama dengan investor untuk membuat PKS dengan kapasitas olah sebanyak 45 ton crudepalm oil(CPO) per jam. Adapun investasi pabrik tersebut ditaksir mencapai Rp200 miliar.
Dengan total kelolaan kebun seluas 7.000 hektare, petani yang berasal dari 8 koperasi tersebut, bakal mendapat kepemilikan saham PKS sebesar 20%. Menurut dia, pembangunan pabrik yang ditargetkan mulai tahun ini tersebut merupakan aksi nyata korporatisasi petani.
Kemitraan dengan investor itu mendudukkan pekebun sawit rakyat sebagai pemilik saham. Petani tidak
mengeluarkan modal dan dalam jangka waktu tertentu justru memiliki aset.
Di sisi lain, investor juga berminat terhadap kemitraan tersebut lantaran terjaminnya rantai pasok untuk produksi pabrik.
“Harus ada pionir, sehingga bisa jadi contoh bagi petani sawit lainnya untuk berlembaga dan mengubah mindset tidak melulu di hulu. Kalau tidak akan sulit petani dapat keuntungan lebih,” katanya.
Pabrik yang dibangun Koperasi Produsen Induk (KOIN) Sawit Lestari tersebut nantinya tak hanya memproduksi CPO. Hasil panen sawit para petani rakyat itu juga nantinya akan diolah menjadi industrial vegetable oil (IVO) yang merupakan bahan utama produk energi, berupa bensin sawit.
Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki) Sumatra Selatan (Sumsel) menilai, perkebunan rakyat berperan besar terhadap industri sawit di provinsi itu.
Ketua Gapki Sumsel Alex Sugiarto mengatakan bahwa 40% dari luasan kebun sawit di Sumsel yang mencapai total 1,3 juta hektare merupakan kebun plasma dan swadaya.
“Oleh karena itu, perkebunan rakyat harus diperkuat. Salah satunya dengan program PSR yang dampaknya berujung pada peningkatan kesejahteraan petani,” katanya.
Alex mengatakan, produktivitas kebun di Sumsel saat ini masih berkisar 2,5 ton-3 ton per hektare per tahun. Padahal potensi produktivitas kebun di daerah tersebut mampu mencapai 6 ton-8 ton per hektare per tahun.
Gapki Sumsel pun berkomitmen untuk mendukung PSR. Menurutnya, pengolahan hasil panen petani tersebut telah didukung keberadaan PKS di daerah itu. Saat ini terdapat 77 unit PKS yang tersebar di Sumsel.
“Seiring dengan bertambahnya produktivitas tentu akan ada penambahan unit maupun kapasitas PKS,” kata dia.
QUANTUM LEAP
Sementara itu, Pemkab Musi Muba menilai industrial vegetable oil (IVO) yang diproduksi di daerah tersebut merupakan lompatan tinggi untuk sektor perkebunan.
“Kami sudah mengawali dengan peremajaan kebun, kemudian hasilnya pun akan diserap untuk inovasi produk hilir dari sawit tersebut, yakni IVO. Bagi kami, ini adalah quantum leap perkebunan sawit yang melibatkan petani dari hulu sampai hilir,” jelas Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin saat menerima kunjungan Tim Jelajah Komoditas Sumatra, beberapa waktu lalu.
Dodi mengatakan, IVO menjadi salah satu bentuk dari energi berkelanjutan yang berbasis kelapa sawit.
Dodi pun optimistis BBM dari sawit ini dapat diproduksi secara massal dengan harga yang ekonomis. Menurutnya, secara kualitas bensin sawit memiliki kadar RON yang cukup tinggi, bahkan di atas Pertamax.
Agar ekonomis, maka Pemkab juga berencana memanfaatkan minyak fossil dari sumur-sumur tua di Muba sebagai campuran bensin sawit.
Menurut Dodi, dari luasan kebun sawit yang mencapai sekitar 451.139 hektare, 40% di antaranya merupakan kebun sawit milik rakyat.
Dia menambahkan, Pemkab Muba menargetkan setelah IVO dan bensin sawit diproduksi massal, maka daerah itu bisa menjadi ibu kota dunia dengan energi berkelanjutan berbasis sawit pada 2030.
Dengan demikian, kata Dodi, Indonesia melalui Muba dapat menunjukkan kemandirian energi lewat produksi BBM yang berbasis kelapa sawit. Pemkab Muba juga telah menyusun peta jalan untuk produksi IVO yang ditargetkan mulai 2022.
“Apalagi pemerintah pusat sudah punya program untuk D-100. Jadi bukan cuma bensin saja yang dari sawit, tetapi sampai avtur pun akan berbahan baku sawit dan kami sebagai sentra perkebunan sawit siap mendukungnya,” katanya.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Muba Iskandar Syahrianto mengatakan bahwa kabupaten itu ingin menjadi basis energi baru dan terbarukan.
Dia menjelaskan, pengolahan IVO menjadi bensin sawit dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pihak, yakni Institut Teknologi Bandung (UB) dan Badan Pengelola Dana Perkebunan kelapa sawit (BPDPKS).
“Saat ini, produksi IVO sudah 5 ton dan 20 ton yang sudah dikirim ke PT Pura di Kudus untuk diolah menjadi bensin sawit atas asistensi ITB,” ujarnya.
Ke depan, produksi IVO akan diupayakan sebanyak 1.000-2.000 ton serta akan dijadikan sampel dari pihak PT Pertamina (Persero) dalam pengolahan coprocessing di Refinery Unit (RU) m Plaja
Dengan demikian, kata dia, konsep tersebut memberikan alternatif kepada pelaku industri untuk memproduksi produk sesuai pergerakan harga terkini.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrahman mengatakan, pihaknya tak hanya menyalurkan dana sawit untuk PSR, tetapi juga mendukung pengembangan komoditas itu dalam program lainnya.
“Salah satunya dukungan riset baik di sektor hulu sampai hilir, termasuk pula pengembangan IVO di Muba,” katanya.
Dia mengatakan, BPDPKS telah memberikan dukungan untuk inovasi IVO melalui dukungan dana untuk riset maupun kemitraan. Pihaknya pun berharap bensin sawit tersebut dapat segera diproduksi secara massal sehingga manfaatnya bisa dirasakan khalayak luas.
Sumber: Bisnis Indonesia