KARACHI – Indonesia masih memiliki peluang untuk meningkatkan pangsa ekspor sawit ke Pakistan. Saat ini, Indonesia menguasai sekitar 80% pasar minyak sawit di negara Asia Selatan itu, sisanya 20% dikuasai Malaysia.
“Ada dua hal yang kita lihat Pakistan memiliki jumlah penduduk yang besar dan akan terus bertambah. Selain itu konsumsi minyak nabati per kapitanya juga masih rendah,” ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono di Karachi, Pakistan, Rabu (5/9).
Dia menjelaskan, saat ini konsumsi minyak nabati Pakistan sekitar 14-15 kg/kapita/tahun. Jumlah itu jauh di bawah Indonesia yang mencapai 21 kg/kapita/tahun atau India yang sekitar 23 kg/kapita/tahun. “Jadi tinggal bagaimana kita bisa berkompetisi dengan produk yang lain, seperti minyak kedelai atau lainnya,” tuturnya.
Pakistan adalah pasar ekspor minyak sawit Indonesia terbesar keempat setelah India, Uni Eropa, dan Republik Rakyat Tiongkok. Tercatat, dari total nilai ekspor sawit Indonesia yang mencapai US$ 22,9 miliar pada 2017, Pakistan menyumbang sekitar US$ 2 miliar atau hampir 10%. Dengan jumlah penduduk 207 juta dan terus bertambah, kebutuhan Pakistan akan minyak nabati termasuk minyak sawit sebagai bahan baku makanan dipastikan meningkat.
“Pada tahun, 2010-2012 kita menguasai 20% pangsa pasar sawit Pakistan, tapi setelah ada preferensial tariff agreement (PTA) yang efektif pada 2013 kita berhasil meningkatkan menjadi 80%. Makanya kita perlu upgrade PTA menjadi free trade agreement (FTA) untuk mempekuat hubungan dagang bilateral dengan Pakistan,” ujar dia.
Pada kesempatan yang sama, Duta Besar Republik Indonesia untuk Pakistan Iwan Suyudhie Amri mengatakan, peran Kedubes RI di Pakistan adalah meningkatkan atau paling tidak mempertahankan ek8por*6awit Indoaeste yang sudah mengusai 80% pangsa pasar sawit di Pakistan.
“Indonesia dan Pakistan telah memiliki PTA yang ditandatangani pada 2012. Namun pemerintah Indonesia dan Pakistan sudah sepakat untuk meningkatkan hubungan tersebut ke tingkat FTA sehingga nilai perdagangan kedua negara akan semakin meningkat,” lanjut dia.
Untuk meningkatkan pangsa pasar tersebut, pemerintah Indonesia secara aktif membangun komunikasi dengan eksportir maupun mitranya di Pakistan. Dengan begitu, kata dia, hal-hal yang terindikasi dapat merugikan ekspor sawit Indonesia bisa dideteksi dan ditangani sedini mungkin.
Tahun lalu, kata dia, pihaknya menginisiasi Indonesia-Pakistan palm oil Joint Committee yang memungkinkan adanya komunikasi yang intens untuk mengatasi persoalan ekspor sawit yang muncul.
Pemerintah Indonesia juga kerap menggelar promosi produk-produk sawit Indonesia. Tahun ini, pemerintah melalui Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Karachi menyelenggarakan Conference and Exhibition on Indonesian palm oil (CEIPO) 2018 di Karachi, Pakistan, pada 6 September 2018.
Kegiatan ini terdiri atas seminar dan pameran yang diselenggarakan secara bersamaan dalam satu hari dan mengundang pembicara serta perusahaan di sektor industri minyak kelapa sawit naik dari Indonesia maupun Pakistan. Dengan tema “Pakistan-Indonesia
Collaboration on Palm Oil-based Industries”, CEIPO bertujuan untuk memantik diskusi terkait pengembangan kerja sama di bidang industri minyak kelapa sawit antara Indonesia dan Pakistan. Kegiatan tersebut diharapkan semakin memperbanyak pertukaran gagasan terkait kemungkinan investasi bersama untuk menambah nilai dari produk minyak kelapa sawit ke depannya.
Butuh Insentif
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono juga mengatakan, kalangan pelaku usaha minyak sawit mendukung upaya pemerintah meningkatkan pangsa ekspor sawit guna mendongkrak perolehan devisa. Namun demikian, mereka meminta pemerintah memberikan insentif dan kemudahan untuk penetrasi pasar ekspor.
“Kita mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan pasar ekspor sawit, tapi di sisi lain pengusaha juga butuh insentif agar bisa bersaing dengan eksportir minyak sawit dari negara lain,” ujar Joko di sela acara Conference and Exhibition on Indonesian palm oil (CEIPO) 2018 di Karachi, Pakistan, Kamis (6/9).
Dia memberi contoh pemerintah Malaysia yang memberikan insentif berupa bea keluar nol persen untuk ekspor komoditas sawit mulai September ini. Dengan insentif tersebut, lanjut dia, Malaysia berpotensi kembali merebut pangsa pasar sawit di Pakistan. Saat ini Malaysia menguasai 20% pangsa pasar sawit di Pakistan, sedangkan Indonesia sebesar 80%.
“Jika tidak ada insentif, bukan tidak mungkin pangsa pasar minyak sawit Indonesia akan turun seperti terjadi pada tahun 2007-2008 dari 20% menjadi nol,” tegas dia.
Menurut dia, pangsa pasar sawit Pakistan mesti dijaga agar tidak turun karena direbut oleh kompetitor dan adanya persaingan dari komoditas minyak lain. Untuk mempertahankan pangsa pasar sawit di Pakistan, pemerintah Indonesia perlu meningkatkan kerja sama perdagangan kedua negara. Sementara itu, lanjut dia, untuk menembus pasar ekspor baru butuh waktu lama. Selain itu, juga ada kendala teknis di lapangan seperti masalah pengapalan dan lainnya.
Di tempat yang sama, Waketum Gapki Togar Sitanggang menambahkan, pemerintah mesti memberikan penyesuaian tarif ekspor agar bisa bersaing dengan kompetitor. “Kami tidak minta tarif ekspor hingga nol persen, tapi paling tidak ada penyesuian dari saat ini. Juga diberikan insentif daii penurunan pungutan yang membenani industri sawit,” ucap dia.
Menurut dia, untuk penetrasi ke pasar-pasar baru yang nontradisional dibutuhkan insentif untuk menyesuaikan dengan permintaan buyer di negara-negara tersebut “Contohnya pasar di negara-negara Afrika dimana permintaannya dalam partai kecil sehingga tidak mungkin kita bangun tangki dulu baru kemudian ekspor. Pemerintah meminta penetrasi ke pasar-pasar baru nontradisional, tapi kalau kita tidak diberikan tools maka kita akan sulit melayani pasar-pasar tersebut,” jelas dia.
Nurjoni
Sumber: Investor Daily Indonesia