Komisi Eropa memutuskan tidak akan melanjutkan pembahasan pembatasan sawit untuk campuran biodiesel. Dengan begitu, produk sawit kita bisa masuk lagi ke Eropa. RI sukses taklukkan Negeri Benua Biru.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga mengatakan. Komisi Eropa tidak akan melanjutkan pembatasan sawit untuk campuran biodiesel seperti yang diminta Parlemen Eropa. Ini artinya kita bisa ekspor lagi ke Eropa.

“Yang membuat usulan itu (pelarangan) adalah Parlemen Eropa. Dewan Eropa sendiri kurang sependapat,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.

Untuk diketahui. Parlemen Eropa akan menghapus penggunaan biodiesel dari minyak nabati pada 2030 dan dari minyak kelapa sawit pada 2021. Upaya itu akan diwujudkan rancangan Proposal Energi bertajuk Report on the Proposal for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Spurces.

Menurut dia, di Eropa ada tiga pengambil keputusan. Yaitu, Parlemen Eropa, Komisi Eropa, dan Dewan Eropa. “Jadi mereka juga tidak satu suara. Bahkan, Komisi Eropa belum mempertimbangkan akan melanjutkan proposal tersebut,” katanya.

Pengusaha menyambut baik kabar tersebut. Menurut Sahat, hal ini memperlihatkan pemerintah jago melobi. “Untuk sawit memang tidak bisa dilakukan oleh swasta saja, tapi harus kerja sama dengan pemerintah,” ujarnya.

Dengan lampu hijau dari Eropa ini, kata dia, ekspor sawit ke Negeri Benua Biru akan kembali normal. Ekspor sawit RI ke Eropa pada April mencapai 100 ribuan ton. Sedangkan pada Maret hanya 35 ribu ton saja. “Januari-Februari nol. Karena dumping baru selesai Maret,” katanya.

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, tidak mudah melobi Eropa untuk menghentikan rencananya membatasi penggunaan sawit untuk campuran biodiesel. Bahkan, pemerintah harus melobi langsung ke Vatikan.

“Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan langsung turun ke Vatikan untuk bertemu Paus Fransiskus untuk menyampaikan surat dari Presiden Jokowi agar sawit kita bisa tetap masuk ke Eropa,” paparnya.

Vatikan pun akhirnya memutuskan untuk diadakan seminar membahas sawit. Selain dari Indonesia, pembicaranya berasal dari Nigeria dan Colombia. “Kunci lobi ada humanity dan peace,” ujarnya.

Menurut dia, dalam seminar tersebut diketahui jika sawit bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan menciptakan perdamaian. Misalnya yang terjadi Columbia.

“Columbia dan pemberontak berhasil berdamai. Dan bekas pemberontak itu dikasih lahan sawit untuk perdamaian,” katanya.

Sebelumnya dalam konferensi internasional tentang pengentasan kemiskinan di Pontifical Urban University Vatikan di Roma. Selasa (15/5) lalu. Luhut mengatakan, perkebunan kelapa sawit telah menjadi instrumen yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang telah membuktikan hal tersebut.

Di Indonesia ada 17 juta orang yang bekerja di sektor kelapa sawit, sedangkan di Malaysia sedikitnya 2 juta orang. Dari total 11,6 juta hektare perkebunan kelapa sawit Indonesia, 41 persen di antaranya adalah perkebunan rakyat.

Luhut mengatakan, sektor pertanian sangat penting dan menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Pada sub sektor pertanian, kelapa sawit merupakan penyumbang devisa ekspor terbesar yaitu sekitar 15.5 miliar Euro atau lebih dari Rp 250 triliun.

 

Sumber: Rakyat Merdeka