Industri sawit dalam negeri seringkali berhadapan dengan label negatif terutama menyangkut dampak lingkungan. Pelaku perkebunan sawit di Sumatra Selatan pun berbenah demi keberlanjutan komoditas ekspor tersebut.

Adi Sukarto, 53 tahun, menunjukkan selembar sertifikat Round-table on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang sudah dikantongi kelompok taninya sejak 2014.

Sertifikat itu merupakan bukti bahwa kebun sawitnya dikelola secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Adi merupakan petani yang sudah berkebun sawit selama 29 tahun.

Pada awalnya, dia bersama ribuan petani lainnya menjadi petani plasma PT Hindoli dengan total luasan lahan sekitar 3.000 hektare (ha).

Menurut petard transmigran asal Jawa Timur itu, sertifikasi yang dikantongi menjadi tolak ukur bahwa tandan buah segar (TBS) dari kebunnya sudah memenuhi prinsip keberlanjutan [sustainability].

“Saya pede ngomong sama orang-orang kalau minyak sawit hasil buah dari kebun kami itu adalah produk yang tidak merusak lingkungan, inilah yang kami bangun,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.

Salah satu prinsip dalam RSPO yang merupakan badan sertifikasi nirlaba adalah tanggung jawab lingkungan dan konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati.

Salah satunya tidak membakar lahan tetapi menerapkan cara tebang langsung cacah batang sawit [chipping]. Petani juga tidak membuka lahan baru, tetapi berupaya meningkatkan produksi di kebun lewat benih unggul.

Saat ini, Adi dan petard yang tergabung dalam Koperasi Unit Desa (KUD) Mukti Kayu sedang melanjutkan pengelolaan kebun sawit fase kedua melalui program peremajaan atau replanting yang didukung pemerintah sejak 2017. Peremajaan sawit kelompoknya dilakukan saat menginjak tahun ke-26.

Dalam peremajaan kebun, prinsip RSPO lainnya yakni pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab juga harus diterapkan. Pembakaran lahan untuk kebun baru diharamkan, apalagi, Sumsel jadi provinsi di Indonesia yang rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada saat kemarau.

Kelompok taninya pun berencana untuk mengajukan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sehingga memperkokoh komitmen mereka terhadap produk sawit yang bersahabat dengan lingkungan.

Diketahui, Sumsel merupakan salah satu sentra perkebunan sawit di Tanah Air. Dinas Perkebunan Sumsel mencatat luas areal kebun sawit mencapai 1,18 juta ha.

Adapun produksi minyak sawit mentah [crude palm oil/ CPO) mencapai 3,82 juta ton. Pemda di Sumsel juga mencatat terdapat 226.159 petani/kepala keluarga yang menggantungkan nasibnya dari kebun sawit.

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai minyak sawit berkelanjutan merupakan solusi untuk menghadapi tantangan industri Kelapa Sawit nasional.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan industri sawit harus membuktikan diri bahwa mereka mampu menerapkan semua prinsip keberlanjutan. “Kita harus punya kesamaan persepsi bahwa sustainability adalah keniscayaan. Ke depan agenda global akan selalu membawa konsep ini, sehingga industri sawit tidak bisa mengabaikannya,” paparnya saat menghadiri Forum Andalas II di Palembang beberapa waktu lalu.

Menurut dia, pandangan positif sudah tumbuh di pasar internasional terkait minyak sawit berkelanjutan.

“Ini beda dengan minyak sawit tok, karena di Eropa orang masih bilang Palm Oil is bad. Tetapi jika itu adalah sustainable Palm Oil maka persepsinya sudah positif,” katanya.

Berdasarkan catatan Gapki Sumsel per 2019, terdapat 72 unit pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kapasitas 3.590 ton per jam.

Di tingkat pengusaha, kata Joko, pihaknya sudah mendeklarasikan bahwa semua anggota Gapki harus mengantongi sertifikat ISPO pada 2020.

Ketua Gapki Sumsel Alex Sugiarto menuturkan sawit berkelanjutan sangat penting karena salah satu upaya untuk menepis isu-isu negatif tentang sawit.

Menurutnya, di antara 74 perusahaan yang bergabung dengan Gapki Sumsel tercatat ada 44 atau sekitar 60% yang sudah mengantongi ISPO.

Salah satu kendala yang masih dihadapi perusahaan untuk mendapat pengakuan sawit berkelanjutan masih berkutat seputar legalitas lahan, proses perizinan, ketenagakerjaan serta komitmen dan konsistensi terhadap penerapan aturan.

TRANSPARANSI JADI KUNCI

Terpisah, Sustainable Commodities and Business Manager World Resources Institute (WRI) Indonesia Andika Putraditama mengatakan saat ini pasar minyak sawit menuntut rantai pasok yang bersih dari deforestasi.

“Karena selama ini kampa- nye negatif tentang sawit yang paling disorot adalah deforestasi. Akibat sorotan dan tekanan dari luar itulah, mau tidak mau kita harus berbenah salah satunya lewat sawit berkelanjutan,” jelasnya.

Andika menilai sertifikasi untuk minyak sawit melalui RSPO bisa menjadi cara untuk meyakinkan pasar terkait prinsip berkelanjutan pada komoditas sawit.

Apalagi, kata dia, RSPO mensyaratkan prinsip keterbukaan atau transparansi secara menyeluruh. Pasalnya, perusahaan yang ingin mendapat sertifikasi RSPO wajib membuka data konsesinya.

“Transparansi ini jadi kunci RSPO. Kalau kita mau beli barang tapi tidak tahu di mana jadinya ragu, kalau mau dipercaya pasar ya harus kasih lihat datanya,” katanya.

Diketahui, komitmen terhadap transparansi menjadi prinsip pertama dari 8 prinsip RSPO. Pihak perkebunan dan pabrik Kelapa Sawit memberikan informasi yang memadai kepada stakeholder lainnya berkaitan dengan isu lingkungan, sosial dan hukum.

Dalam situs resminya, WWF Indonesia melakukan pendampingan kepada petard sawit swadaya untuk membenahi tata kelola kelembagaan melalui rancangan standar operation procedure (SOP) dari perekrutan anggota hingga pemanenan.

 

Sumber: Bisnis Indonesia