Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia mendorong pabrik kelapa sawit (PKS) petani tidak melulu berpikir produksi minyak sawit mentah (CPO). Tetapi berkontribusi untuk menghasilkan biohidro karbon bensin.

Sahat Sinaga, Ketua Masyarakat Biohidro karbon Indonesia, mengatakan, saa tini Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) sedang membuat role model Pengembangan Teknologi Produksi Minyak Nabati Industrial Vegetable Oil (IVO) dan biohidro karbon bensin di Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Pelalawan.

Berdasarkan perhitungan Sahat, harga CPO Rp 6.500 per kg, maka setelah diolah menjadi bensin harganya mencapai Rp 8.100 per liter. “Masa depan produk yang akan dikembangkan oleh petani sawit itu penting, tidak melulu produksi CPO,” ujar Sahat.

Pasar sudah berkembang, menurut dia, beberapa motor pembangkit listrik diesel (PLTD) kini sudah dapat menggunakan minyak sawit. Pasar global memerlukan CPO yang bila diolah di refineri menghasilkan 3-MCPDE di level maksimal  2,5 ppm dan GE di level < 1,0 ppm.

“Teknologi yang digunakan pabrik sawit petani harus modern dan sesuai kebutuhan sekarang. Jangan lagi, pakai teknologi 100 tahun lalu,” tegas Sahat saat menjadi pembicara Dialog Webinar Sesi Kedua UMKM Sawit bertemakan Peluang Pengembangan Mini CPO Plant bagi UMKM Sawit yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia dan Badan Pengelola Dana Perkebunan KelapaSawit (BPDP-KS)  pada pertengahan Agustus 2020.

Selain itu, biohidro karbon memerlukan minyak sawit yang kandungan Asam Lemak Bebas (ALB) tinggi, namun tidak merusak katalist. “Lahirnya katalis merah putih yang dikembangkan Institut Teknologi Bandung (ITB) memberikan potensi besar bagi pabrik sawit petani,” kata Sahat.

Dia mengatakan, harga sawit berfluktuasi tinggi maka kebun dan pabrik berada dalam satu entitas. Selain itu, harus dilihat juga pilihan teknologi pabrik sawit untuk disesuaikan kondisi kebun. Prasyarat bagi pabrik sawit petani adalah  radius antara jarak kebun dengan pabrik sawit sebaiknya minimal 20 kilometer (km) agar cost bisa ditekan. “Apa bila jarak kebun kepabrik lebih dari 40-50 km, akibatnya kandungan  free fatty acid (FFA) pada tandan buah segar (TBS) menjadi tinggi dan akan menambah cost,” ujar Sahat.

Idealnya, kata dia, jarak dari kebun 20 km, ongkos angkut TBS menjadi Rp 120 per kilogram (kg). Biaya proses dari TBS ke CPO atau PO tidak lebih Rp 180 per kg. Jika lebih dari itu, maka pabrik mini sudah tak lagi efisien.

“Maka lebih ekonomis jarak dekat dan biaya proses lebih murah, sehingga total cost rendah. Kalau pun ada kenaikan ongkos olah di pabrik berkapasitas rendah, misalnya Rp 20/kg, para petani masih punya margin Rp 205 per kg TBS,” jelas Sahat.

Dia mencontohkan, ongkos angkut TBS di daerah Sumatera berkisar Rp 75/kg/10 km. Biaya olah TBS menjadi CPO di pabrik kapasitas 30 ton/jam, berada di level Rp 120 – 170/kg.

Sedangkan biaya olah TBS di pabrik kapasitas kecil 20 ton/jam, sekitar Rp 135 – Rp 185/kg. “Bila jarak kebun petani kepabrik sekitar 50 km, maka harga TBS petani  akan terdiscount Rp 375/kg untuk ongkos angkut TBS kepabrik,” ungkap Sahat.

Menurut dia, sekarang tidak bisa lagi melihat besar atau kecil kapasitas produksi pabrik. ‘Profit di pabrik bisa mencapai 35 persen, jika produktivitas TBS petani 20 ton/ha/tahun,” katanya.

Kemudian agar pabrik berhasil, manajemen pabrik sebaiknya dikelola profesional. Bukan pengurus koperasi. Dia mendorong dalam pembangunan pabrik dibentuk korporatisasi petani agar petani menjadi pemegang saham terbesar ketimbang investor. “Kedepan kita dorong produk yang dihasilkan dari pabrik milik petani bisa langsung dijual ke Pertamina, PLTD atau bahkan pasar luar negeri,” ujar Sahat.

Ia menjelaskan bahwa perlu diketahui oleh Petani Sawit yang akan mengembangkan pabrik sawit petani bahwa 52 – 54% biaya pengolahan TBS sawit menjadi CPO  berada di awal proses – mulai dari loading ramp, sterilizer sampaike Thresher ( pemipilan buah sawit dari tandanya ). Yang menjadi persoalan teknologi pengolahan buah sawit menjadi CPO sudah berusia 100 tahun lamanya. Kini biaya variable cost untuk pengolahan tandan sawit menjadi CPO itu terpatok ( anchoring ) antara Rp 120 – 170 /kg TBS.

 

Sumber: Sawitindonesia.com