Pelaku industri sawit bersepakat dengan pemerintah dalam melaksanakan prinsip-prinsip Sustainable Development Goals (SDG’s). Komoditas sawit mampu mengentaskan kemiskinan dan menjawab persoalan lingkungan.

Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) pada tahun ini menjadi ajang berkumpulnya para stakeholders dan pebisnis sawit baik dari dalam maupun luar negeri. Kegiatan yang berlangsung pada 1 – 2 November 2018, Nusa Dua, Bali, juga menarik perhatian Presiden Joko Widodo  (Jokowi) yang turut hadir dan membuka secara resmi.

Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo menyampaikan pujian kepada industri sawit yang mampu memproduksi Crude Palm Oil (CPO) sebesar 42 juta ton dan berkontribusi terhadap devisa negara senilai lebih Rp300 triliun.

Kendati, Presiden Jokowi melontarkan pujian. Tetapi, industri sawit tetap mendapatkan kritikan yakni pada tata kelolanya yang perlu dibenahi. Mengingat sawit sudah menjadi komoditas unggulan nasional, maka saran untuk meningkatkan perbaikan tata kelola juga disampaikan oleh orang nomor satu di negeri ini.

Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi menyampaikan perlu penekanan pada lima hal dan wajib dilaksanakan agar pengembangan sektor sawit bisa berkontribusi kepada Sustainable Development Goals(SDG’s). “Pertama, pemanfaatan teknologi untuk tata kelola perkebunan sawit harus dimaksimalkan sehingga semakin ramah lingkungan. Kedua, Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau replanting harus dipercepat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (petani),” tutur Jokowi.

Ketiga, lanjut Jokowi, peningkatan ekspor CPO bagi pelaku usaha. Ekspor CPO berpotensi besar untuk perekonomian nasional. Maka, pasar ekspor harus dikembangkan, jangan terpaku pada negara Uni Eropa, India dan Pakistan masih banyak negara-negara lain. Keempat, hilirisasi produk kelapa sawit harus diperhatikan terutama dengan produk eskpor. Sehingga ekspor kita berupa barang jadi yang dikemas dengan menarik.

“Kelima, percepatan mandatory B20 (bahan bakar berbasis sawit) sehingga penggunaanya 100%. Stock CPO yang ada dapat terserap. Mengapa kita harus impor minyak kalau di dalam negeri ada bahan baku sawit untuk campuran Biodiesel,” ujarnya.

Berkenaan dengan komitmen dalam pencapaian tujuan SDGs, pengembangan strategis industri sawit dan produk turunan di masa mendatang harus berdampak pada pembangunan ekonomi berkelanjutan (economical sustainability), pembangunan lingkungan berkelanjutan (environmental sustainability) dan pembangunan sosial berkelanjutan (social sustainability) yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Saran Jokowi ditanggapi positif

Lima hal yang disampaikan Jokowi untuk pengembangan sektor sawit supaya berperan pada tujuan SDG’smendapat sambutan positif dari Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI. Salah satu yang ditanggapi yaitu penggunaan biodiesel dari sawit akan berdampak positif bagi neraca perdagangan dan akan mengurangi impor minyak mentah. “Penggunaan Biodiesel akan membantu mengurangi defisit neraca perdagangan dan tentu saja akan mengurangi dampak fluktuasi nilai tukar rupiah,” kata Joko.

Kemudian, Joko menjelaskan pada 2018 produksi minyak sawit nasional bisa mencapai 42 juta ton, sementara 30 juta ton akan diekspor. Jika melihat besarnya produksi minyak sawit, program mandatoryB20 tidak akan pernah mengalami kesulitan bahan baku.

Pertemuan IPOC 2018 dengan tema Indonesian Palm Oil Development: Contribution to Development Goals (SDGs) untuk menunjukkan adanya komitmen yang  besar dari industri sawit untuk mengembangkan sustainable development seperti harapan global. “Bahkan, dalam kaitan dengan environmental sustainability, nantinya setiap industri sawit harus berorientasi pada pengembangan industri rendah emisi,” ungkap Joko yang saat ini menjabat Ketua GAPKI periode dua.

Joko menegaskan, sejumlah persoalan global masih membayangi industri sawit pada tahun ini, di antaranya akibat perang dagang Amerika dengan Cina, hambatan tarif perdagangan serta kampanye hitam. Tetapi, tantangan ekonomi global tidak terlalu berdampak signifikan terhadap aktivitas industri sawit.

 

Sumber: Sawitindonesia.com