Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyarankan kepada pemerintah agar mengoptimalkan pengembangan komoditas kelapa sawit dan karet, sehingga industri pengolahan, sebagai kontributor utama pertumbuhan ekonomi, pada 2020 dapat meningkat. Jika pemerintah dapat mengoptimalkan kedua komoditas itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia diyakini bisa mencapai hingga 5,5%.

Pasalnya, dua komoditas tersebut memiliki peran besar dalam industri pengolahan nasional. “Selama industri karet dan sawit kita tidak diperbaiki, maka selama itu juga kita tidak dapat mengharapkan industri yang selayaknya,” ujar peneliti Indef Andry Satrio Nugroho dalam diskusi Seratus Hari Tanpa Akselerasi: Respons atas Kinerja Ekonomi Triwulan IV 2019 yang diselenggarakan Indef di Jakarta, Kamis (6/2).

Andry menuturkan, dari segi ekspor maupun permintaan domestik, kedua komoditas tersebut kini sedang tertekan sehingga realisasi industri pengolahan pada 2019 juga tertekan. “Industri terbesar kita mengandalkan sawit dan karet, tapi komoditas itu untuk saat ini dari segi ekspor dan permintaan domestik tidak besar,” ujar dia.

Pada kuartal IV-2019, industri pengolahan membukukan pertumbuhan 3,66% secara year on year (yoy), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,14% dan kuartal yang sama 2018 yang tercatat 4,25%. Semetara itu, pertumbuhan industri pengolahan 2019 tercatat 3,8%, lebih rendah dari 2018 yang masih mampu tumbuh 4,27%. Tahun lalu, industri pengolahan tetap menjadi kontributor pertumbuhan ekonomi terbesar dengan porsi 19,7%.

Andry menyebutkan, jika pemerintah dapat mengoptimalkan komoditas kelapa sawit dan karet, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5% hingga 5,5%. “Kita bisa tumbuh 5% – 5,5% kalau industri sawit dan karet dioptimalkan. Tapi, yang menjadi masalah bagi kita karena struktur terbesar dari industri pengolahan tidak baik,” kata dia.

Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi pada 2019 sebesar 5,02%. Realisasi ini lebih rendah dibandingkan 2018 yang sebesar 5,17%. Angka pertumbuhan ekonomi ini juga tidak mencapai target yang telah ditetapkan pemerintah dalam APBN 2019 sebesar 5,3%. Adapun dalam kurun waktu 2016 hingga 2018, ekonomi Indonesia mampu tumbuh masing-masing 5,03%, 5,07%, dan 5,17% dan tahun ini ditargetkan 5,3%.

Andry menjelaskan, untuk kelapa sawit pemerintah dapat memperbaiki hilirisasi industrinya karena selama ini hanya mengandalkan B20 dan B30, padahal itu tidak cukup. “Sawit itu kita harus melihat hilirisasi di dalam negeri itu bagaimana. Selama ini \’kan hanya mengandalkan B20 dan B30 dan itu tidak cukup menurut saya,” ujar dia.

Menurut Andry, harus ada integrasi hilirisasi industri kelapa sawit dalam negeri maupun yang berorientasi pada ekspor meskipun terdapat kendala seperti adanya banned dari Eropa terhadap minyak sawit mentah (CPO) Indonesia. “Kita tidak bisa mengandalkan ekspor CPO saja karena Eropa sudah melarang kita dan India yang juga memberikan bea masuk lebih besar daripada Malaysia,” kata dia.

Oleh sebab itu, ia menyarankan pemerintah agar melakukan negosiasi dengan Eropa untuk membahas upaya ritelisasi sebab itu merupakan salah satu strategi agar industri pengolahan maupun manufaktur dapat meningkat. “Selama hal itu tidak bisa disinergikan, maka sampai ke depa industri manufaktur dan pengolahan akan tumbuh seperti ini malah lebih rendah dari saat ini,” ujar dia.

Sementara itu, untuk komoditas karet, Andry mengatakan, yang perlu diperbaiki oleh pemerintah adalah terkait harganya yang tidak kompetitif dan hilirisasi industri dalam negeri yang tidak besar. “Kalau investasi kita diarahkan pada dua sektor tersebut, saya rasa industri manufaktur lebih tinggi pertumbuhannya daripada tahun lalu,” ujar dia.

Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perlambatan industri pengolahan sepanjang 2019 telah memberikan kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,02%. Industri pengolahan pada 2019 masing-masing tercatat tumbuh 3,85% di triwulan I, tumbuh 3,54% di triwulan II, tumbuh 4,14% di triwulan III dan tumbuh 3,66% di triwulan P/.

Tidak Realistis

Pada kesempatan yang sama, ekonom Indef Abdul Manap Pulungan menilai, selama tidak ada upaya fundamental dan sungguh-sungguh, target pertumbuhan ekonomi 5,3% yang dipatok pemerintah dalam APBN 2020 tidak realistis. Hal ini disebabkan kondisi global masih tertekan dan munculnya tantangan virus korona.

Pasalnya, lanjut dia, saat ini Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia. Semenjak merebaknya virus korona, 16% ekspor tidak bisa diserap oleh Tiongkok sehingga kinerja perdagangan ke Tiongkok jadi melambat. Virus korona juga diperkirakan berdampak pada berkurangnya kunjungan wisatawan asal Tiongkok.

“Di sisi lain sisi ekspor Indonesia masih didominasi oleh barang mentah, sehingga sulit untuk mendorong kinerja ekspor ke negara lain yang memiliki barang yang sama,” jelas dia.

Dia juga memperkirakan omnibus law bisa rampung tahun ini, tapi investor tidak akan langsung ke Indonesia. Sebab, terjadi lag atau jeda transmisi peraturan antara pusat dan daerah.

“Kalau omnibus law selesai, investor tidak akan langsung ke sini karena regulasi kita terus berubah dan hanya di pusat yang cepat, di daerah sangat lama. Walaupun omnibus (law) ingin menyederhanakan proses, investasi di daerah belum optimal,” ujar dia.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia