Komoditi sektor sawit yang harga buah tandannya sempat terpuruk, ternyata hingga jelang tutup tahun mampu menjadi runner up penyumbang eskpor di bumi Antasari.
Sawit bisa dikatakan sembuh dari sakit walau masih ada beberapa hal perlu diperhatikan memasuki 2018 mendatang.
Walau jumlahnya masih kecil jika dibandingkan dengan kontribusi komoditas bahan bakar mineral khususnya pertambangan, namun komoditas lemak, minyak hewani & nabati memiliki porsi yang cukup signifikan sebagai penggerak perekonomian Kalimantan Selatan (Kalsel).
Komoditas lemak, minyak hewani dan nabati yang di dalamnya termasuk komoditas kelapa sawit dan produk turunannya menjadi penyumbang nilai ekspor terbesar kedua setelah komoditas bahan bakar mineral.
Selama periode Bulan Januari hingga Oktober 2017, sektor ini meyumbang sebesar USD 954.654.054 atau sebesar 14,8 persen pada neraca ekspor-impor Kalsel.
Jumlah ini meningkat 58,79 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya mencapai nilai USD 601.196.856.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalsel Totok Dewanto, menjelang akhir tahun 2017 produksi produk kelapa sawit dan produk turunannya meningkat sebesar 10 hingga 20 persen dibandingkan tahun 2016.
Produksi komoditas crude palm oil (CPO) Kalsel hingga saat ini mencapai kisaran 1,3 juta ton dan diperkirakan masih akan meningkat saat penutupan tahun nanti dengan total 66 perusahaan yang bergerak di bidang ini.
Jumlah ini dihasilkan dari sekitar 500 ribu hektar total lahan perkebunan kelapa sawit di Kalsel.
Industri kelapa sawit di Kalsel pun memiliki beberapa kemajuan yang cukup signifikan, diantaranya saat ini mayoritas hasil produk kelapa sawit yang di ekspor tidak lagi hanya CPO namun sudah berupa berbagai produk turunan CPO lainnya.
Diperkirakan sebanyak 70 persen ekspor komoditas ini dari Kalsel sudah berupa produk turunan CPO, perubahan ini tentu sangat positif jika dibanding kondisi sebelumnya yang 90 persen lebih produk yang di ekspor hanya berupa CPO.
Hal ini mampu dicapai karena adanya dua pabrik refinery CPO milik Minamas dan Sinarmas yang sudah beroperasional di Kalsel yang mampu mengolah CPO menjadi berbagai produk turunannya seperti minyak goreng, bio solar dan bahan margarin.
Berbagai kendala masih dihadapi industri ini selama 2017, di antaranya overlapping lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan restorasi gambut.
Akibatnya ada sekitar 25 persen lahan perkebunan kelapa sawit yang terancam tidak bisa lagi berproduksi.
“Hal ini cukup mengkhawatirkan juga, karena berdampak panjang hingga ke investor yang bisa saja menjadi ragu untuk investasi di sektor kelapa sawit,” kata Totok.
Namun diluar berbagai permasalahan, Gapki masih memandang optimis tahun 2018 ada peluang bagus untuk industri ini.
Bahkan di tahun depan Gapki berencana merambah pasar ekspor baru produk komoditas kelapa sawit dan turunannya.
Saat ini Gapki sudah mengutus perwakilannya untuk lakukan lobi ke berbagai negara dengan pasar potensial seperti Afrika Selatan, Rusia, Amerika danbeberapa negara di Timur Tengah.
Hal ini, menurut Totok, dilakukan untuk memperluas sebaran ekspor produk kelapa sawit Indonesia sehingga tidak tergantung pada beberapa negara langganan ekspor saja.
“Indonesia harus cepat buka pasar baru, karena persaingan dunia untuk komoditi ini semakin ketat. Banyak negara-negara lain yang mulai garap industri sawitnya, jika tidak mau tenggelam harus rambah pasar baru,” kata Totok.
Tantangan di tahun 2018 diprediksi masih berkutat di masalah utama industri ini yaitu kepastian hukum untuk para pengusaha terkait overlapping lahan perkebunan kelapa sawit dan lahan gambut.
Pemerintah Provinsi Kalsel seperti dijelaskan Kepala Bidang Perkebunan Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalsel Fauzi Noor masih akan berusaha menyuarakan pendapat para pengusaha kepada Kementrian Lingkungan Hidup terkait masalah ini. (*)
Sumber: Banjarmasin.tribunnews.com