Produk minyak sawit berkelanjutan tidak lagi menarik. Karena pengaruh kebijakan Uni Eropa yang menghapuskan sawit sebagai sumber bahan baku biofuel secara bertahap. Masihkah sertifikat RSPO atau ISCC dianggap penting?
Salah satu pembicara dari perusahaan perkebunan sawit mengutarakan isu kemamputelusuran menjadi tantangan yang dihadapi setelah isu lingkungan, sosial dan ketenagakerjaan yang ditudingkan pada industri sawit. Selain itu, fluktuasi harga dan penyerapan sawit yang rendah menjadi kendala utama dalam mewujudkan perkebunan yang berkelanjutan. Hal itu disampaikan oleh Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholders Engagement Sinarmas Agribisnis and Pangan, Agus Purnomo, pada Kamis (9 Mei 2019), di Jakarta.
Menurut Agus Purnomo pembeli-pembeli kami terutama dari Eropa mempertanyakan, apakah perusahaan bisa menjamin pengelolaan yang baik dari kebun-kebun yang dikelola masyarakat dan apakah perusahaan tahu dari mana buah (sawit) yang didapat dari masyarakat. “Isu kemamputelusuran datang dari pembeli-pembeli,” ucapnya.
Selanjutnya, Agus Purnomo mengatakan pembeli dari negara lain sering kali memberikan persyaratan baru. Karena, mereka ingin tahu produk yang dibeli berasal dari kebun sawit yang jelas lokasinya.
Sebanyak 88% produk yang diperoleh dari SMART dan Golden Agri Resourse (GAR) adalah produk olahan yang diekspor ke berbagai negara. “Kami punya dua kilang minyak Biodiesel dengan kapasitas 300 ribu ton dari total kapasitas Biodiesel 11 juta ton di Indonesia. Kami hanya memiliki 600 ribu ton. di luar itu, kami mengolah produk oleochemical dan produk yang lain untuk diekspor,” ujar Pungki, panggilan akrab Agus Purnomo.
Jika perusahaan bisa mewujudkan perkebunan berkelanjutan dari aspek kemamputelusuran, akan mendapat imbalan dalam bentuk tambahan penghasilan yang disebut premium price(insentif). “Premium price diperoleh dari negara Eropa. Jika, Eropa secara bertahap menekan sawit. Dengan kata lain, semakin mempersulit penjualan sawit (ekspor) ke Eropa. Bahkan sampai 2030 hanya 0% yang boleh digunakan untuk biofuel,” katanya.
Jadi kalau tren itu berlanjut, tambah Agus Purnomo, tidak hanya kepada biofuel tetapi dapat berimbas kepada produk non energi seperti pangan. Dampak berikutnya, premium price produk sawit otomatis akan hilang. Dan, insentif bagi kegiatan yang berkaitan RSPO dan ISPO sudah tidak ada biayanya. Akibatnya, produsen sawit terbebani karena memperoleh harga di level terendah. Sementara, tiga tahun terakhir harganya tidak stabil bahkan cenderung merosot.
Terkait dengan kualitas produk minyak sawit yang dipasarkan di pasar global. Agus Purnomo mengatakan bukan berarti kita tidak bisa menghasilkan hasil yang baik, kita sebenarnya mampu menghasilkan produk yang baik dengan kapasitas yang lebih besar dibutuhkan oleh Eropa. “Tapi kalau mereka (Eropa) hentikan pembelian. Hilanglah insentif bagi perkebunan dan produk sawit berkelanjutan,” tambah Agus.
SMART Tbk merupakan salah satu perusahaan yang sudah beroperasi selama hampir 40tahun dengan luas lahan sawit yang dikelola hampir 500 ribu hektar yang tersebar di seluruh Indonesia, dan mempunyai kawasan konservasinya 2.000 hektar.
SUmber: Sawitindonesia.com