JAKARTA – Realisasi serapan unsur nabati ( fatty acid methyl eter /FAME) setelah perluasan mandatori biodiesel 20% (B20) mencapai 437.980 kiloliter (KL) untuk periode September sampai 10 Oktober. Realisasi ini naik dari sebelum perluasan mandatori yang sekitar 200 ribu KL per bulan.

Direktur Jenderal energi baru terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Day Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, pelaksanaan perluasan mandatori B20 memang belum optimum. Namun, sejak perluasan mandatori dimulai pada 1 September lalu, pelaksanaannya sudah semakin baik.

“Realisasi serapannya (FAME) dari September sampai 10 Oktober kemarin itu sudah 437.980 KL Jadi sampai September baru 80%” kata dia di Jakarta, Selasa (16/10).

Menurut dia, termasuk untuk sektor nonsubsidi, serapan FAME untuk September hingga Desember tahun ini ditargetkan mencapai 1,92 juta KL Dengan asumsi serapan per bulannya sama, maka serapan FAME seharusnya sekitar 480 ribu KL per bulan. Sehingga, realisasi September masih di bawah target Faktor distribusi masih menjadi kendala perluasan mandatori B20.

“Supply chain kendalanya, mid streamnya sedikit kendala, tetapi Kementerian Koordinator Perekonomian sudah surati Ditjen Perhubungan Laut sebagaimana hasil rapat koordinasi,” jelas Rida.

Meski demikian, jika dibandingkan dengan sebelum adanya perluasan mandatori, realisasi serapan FAME September itu terbilang naik signifikan. Mengacu data Kementerian ESDM, pada semester pertama tahun ini, serapan FAME tercatat sebesar 1,25 juta KL Jika serapan bulanannya dipukul sama rata, maka konsumsi FAME per bulannya hanya sekitar 200 ribu KL

Direktur Bioenergi Ditjenenergi baru terbarukan dan Konservasi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menambahkan, untuk periode Januari-Agustus, serapan FAME tercatat sudah sebesar 1,47 juta KL Sehingga, sampai 10 Oktober, konsumsi FAME telah mencapai sekitar 1,8 juta KL

Lantaran realisasi serapan FAME di bawah alokasi, maka ada potensi badan usaha terkena denda Rp 270 miliar. Namun, menurut Rida, besaran denda ini masih berupa temuan awal, belum menjadi keputusan. Indikasi denda ini lantaran ada badan usaha yang telah memiliki purchase order (PO), tetapi tidak dijalankan. Tetapi ini (denda Rp 270 miliar) belum fix. Itu baru temuan awal, belum jadi putusan. Masih jauh,” ujarnya.

Dikatakannya, yang berpotensi kena denda itu yakni badan usaha bahan bakar minyak (BBM) maupun badan usaha bahan bakar nabati (BBN). Sayangnya, Rida mengaku lupa jumlah badan usaha yang berpotensi didenda ini. “Dua-duanya (kena sanksi), tetapi lebih banyak di badan usaha BBN,” kata dia. Namun ditegaskannya, belum ada badan usaha yang didenda.

Pasalnya, pemerintah masih membuat petunjuk teknis soal penerapan sanksi ini. Yang jelas, denda dikenakan pada volume BBM yang tidak dicampur dengan FAME. “Harusnya yang dicampur misalnya 1.000, yang dicampur hanya 800, berarti yang 200 yang didenda,” ujar Rida.

Ketentuan mengenai sanksi ini diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No 41 Tahun 2018. Pasal 18 beleid ini menyebutkan, jika badan usaha tidak memenuhi ketentuan mandatori, maka akan dikenai sanksi administratif berupa denda atau pencabutan izin usaha. Denda ditetapkan sebesar Rp 6.000 per liter volume biodiesel yang wajib dicampur dengan volume BBM pada bulan berjalan.

Namun, badan usaha BBM tidak dikenai sanksi jika hal tersebut dikarenakan ada keterlambatan, keterbatasan, dan/ atau ketiadaan pasokan biodiesel dari badan usaha BBN. Selain itu, badan usaha juga tidak akan didenda jika ada ketidaksesuaian pasokan biodiesel dengan kualitas yang disepakati dalam kontrak. Bagi badan usaha BBN yang diberi sanksi, diperbolehkan mengajukan keberatan tertulis paling lambat 15 haru kerja sejak diterimanya pemberitahuan.

Usulan Pertamina

Terkait kendala distribusi ini, PT Pertamina (Persero) pernah mengusulkan agar FAME dikirimkan ke terminal BBM besar saja, tidak sampai ke terminal yang kecil. Sementara pasokan ke terminal kecil nantinya langsung berupa B20 yang diangkut sendiri oleh perseroan.

Menurut Rida, usulan telah disampaikan Pertamina dalam rapat koordinasi. Justru usulan ini lah yang diharapkan pemerintah bisa dilaksanakan oleh Pertamina. “Saat rapat terakhir kan sudah jalan ke puluhan terminal. Pertamina usulkan sendiri mereka yang bawa (B20). Itu yang kami mintakan,” kata dia.

Sebelumnya, Direktur Logistik, Supply Chain, dan Infrastruktur Pertamina Gandhi Sriwidodo mengusulkan, FAME tidak perlu didistribusikan ke seluruh Terminal BBM, melainkan hanya ke terminal besar saja. “Namun ada resiko, tatkala kami blending, FAME itu mengikat air, ada fasilitas yang harus kami maintain. Tinggi juga biaya maintenancenya. Mungkin bisa bagi ongkos angkut ke Pertamina, jadi bisa kami kelola,” kata dia.

Terkait ongkos angkut, tambah Gandhi, badan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) selama ini menerima ongkos angkut dari penggantian selisih FAME dan solar yang diberikan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapasawit(BPDPKS). Ongkos ini lah yang diusulkan dibagi jika memang disetujui FAME dikirimkan hanya sampai ke terminal BBM utama.

Mengacu laman Direktorat Jenderalenergi baru terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga indeks pasar (HIP) biodiesel ditetapkan mengikuti harga minyak sawit mentah ditambah biaya konversi menjadi FAME dan ongkos angkut Penentuan ongkos angkut ini mengikuti Keputusan Menteri ESDM No 1770K/12/ MEM/2018.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia