Serapan minyak sawit mentah (CPO) diperkirakan bisa bertambah 1 juta ton apabila wacana percepatan penggunaan biodiesel 30% (B30) dari awal 2020 ke akhir 2019 terwujud.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menerangkan bahwa penerapan B20 saat ini sudah mencapai 97,5%. Hal ini karena masih terdapat beberapa pembangkit listrik yang belum menggunakan B20.

“Itu karena ada kelonggaran yang diberikan, terutama pembangkit listrik tertentu di PLN yang tidak menggunakan solar. Tadinya dia menggunakan gas apalagi yang menggunakan batu bara,” ujar Darmin, Kamis (29/8).

Dengan ini, penerapan B30 diperkirakan bisa dimulai pada 2019 dari sebelumnya direncanakan pada awal 2020. Pasalnya, uji coba sudah dilaksanakan dan akan berakhir pada September. Hingga saat ini, masih belum ditemukan hasil yang negatif dari uji coba yang sudah dilaksanakan.

“Mudah-mudahan kita bisa melaksanakannya [B30] pada Oktober atau paling lambat November. Kalau kita menggunakan B30 itu berarti akan mengurangi penggunaan solar kira-kira 3 juta kiloliter,” ujar Darmin.

Selain itu, Darmin juga mengatakan bahwa pengusaha sawit sedang melakukan feasibility study untuk menghasilkan B100 atau green diesel Green diesel disebut bisa digunakan untuk menghasilkan avtur sehingga ke depannya Indonesia tidak perlu lagi sepenuhnya bergantung pada impor minyak.

“Mudah-mudahan kita akan mulai rencananya dalam waktu 5 tahun, kita akan bisa menghasilkan kira-kira 7 juta kiloliter,” ujar Darmin.

Untuk mencapai B100, menurut Darmin, diperlukan investasi sebesar US$20 miliar, dan seharusnya seluruhnya berasal dari swasta. Selain itu, proses untuk mencapai B100 baru bisa dicapai 3 tahun-4 tahun setelah dilakukannya investasi.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master P. Tumanggor memperkirakan, percepatan implementasi mandatori B30 yang berpotensi dimulai tahun ini setidaknya bisa menambah serapan CPO sampai 1 juta ton.

Tumanggor mengestimasi serapan CPO dari program B30 akan mencapai 9 juta ton dengan kebutuhan rata-rata per bulan sekitar 750.000 ton.

Jika uji coba B30 rampung pada September dan bisa diimplementasikan per Oktober 2019, ia mengatakan setidaknya ada peningkatan kebutuhan sampai 250.000 ton per bulan mengingat kebutuhan CPO untuk program B20 sendiri berada di kisaran 500.000 ton.

“Kebutuhan untuk B20 sendiri sekitar 6 juta ton setahun, rata-rata sebulan 500.000 ton. Kalau B30 mulai tahun ini, berarti ada tambahan kebutuhan bisa sampai satu juta ton. Jadi untuk tahun ini bisa sampai 7 juta ton,” terangnya.

Ia pun memastikan pelaku usaha dalam kondisi siap jika implementasi B30 dipercepat. Ia mengatakan pabrik pengolahan industri fame memiliki kapasitas terpasang sebesar 12 juta kiloliter (kl) dengan utilitas mencapai 80%. Ia pun menyebutkan terdapat tren peningkatan kapasitas yang dilakukan perusahaan pengolahan seiring kehadiran kebijakan bauran biofuel.

“Saya melihat ada tren tambahan kapasitas sampai 4 juta kl. Jadi kalau diakumulasi dengan yang ada sekarang, produksi bisa mencapai 16 juta kl secara nasional. Ada yang menambah pabrik baru dan menambah kapasitas terpasangnya,” papar Tumanggor.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Mukti Sardjono menyambut baik potensi percepatan tersebut. Peningkatan konsumsi CPO dalam negeri merupakan angin segar bagi pelaku usaha di tengah harga CPO yang lesu di tingkat global.

“Selama konsumsi atau permintaan dalam negeri meningkat, kami tentunya sangat mendukung,” kata Mukti saat dihubungi.

Adapun berdasarkan data Gapki, serapan biodiesel sepanjang semester I menunjukkan pertumbuhan signifikan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Gapki mencatat serapan mencapai 3,29 juta ton, naik 144% dibandingkan dengan 2018.

INSENTIF

Terpisah, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) telah menyalurkan Rp470 miliar dana insentif biodiesel dari total volume penyaluran 3,49 juta kiloliter hingga 31 Juli 2019.

Kepala Divisi Unit Penyaluran Dana BPDPKS Fajar Wahyudi mengungkapkan, data BPDPKS menunjukkan adanya tren penurunan penyaluran insentif biodiesel sejak 2018 hingga 2019, meskipun volumenya terus naik.

“Jumlah dana yang dibayarkan menurun seiring dengan penurunan selisih antara HIP [harga indeks pasar] biodiesel dan HIP solar,” ungkap Fajar dalam Sosialisasi Uji Jalan B30 di Bandung, Kamis (29/08).

Fajar menerangkan, tren ini dipengaruhi oleh harga solar yang meningkat tajam melebihi harga biodiesel pada 2018 sehingga BPDPKS tidak mengeluarkan insentif untuk menutupi penyaluran biodiesel.

Artinya, BPDPKS \’menghemat\’ pendanaan biodiesel tersebut karena harga solar yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga biodiesel.

Seperti diketahui, BPDPKS hanya membayarkan dana pembiayaan biodiesel yang diperoleh dari selisih kurang HIP BBM solar yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan HIP Biodiesel yang ditetapkan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE).

“Kalau harga solar di bawah harga biodiesel, maka Badan Usaha BBM akan membayar seharga solar, bukan harga biodiesel,” ujar Fajar.

Dia mencontohkan harga biodiesel Rp7.000 per liter dan solar Rp6.000 per liter. Badan Usaha BBM (BU BBM), seperti Pertamina, Shell dan AKR Corporindo, hanya membayar biodiesel per liter sebesar Rp6.000 atau sama dengan harga solar.

Selisihnya ini yang akan ditanggung oleh BPDPKS. Tagihan dari BU BBM terhadap selisih tersebut langsung dilayangkan kepada BPDPKS. Namun, tagihan tersebut harus diverifikasi terlebih dahulu oleh Ditjen Migas dan dicek ulang oleh tim surveyor.

Sejak penerapan mandatori biodiesel, BPDPKS mencatat pajak yang dibayarkan kepada negara telah mencapai Rp2,51 triliun dan penghematan devisa untuk impor solar sebesar US$5,54 miliar.

 

Sumber: Bisnis Indonesia