Pemerintah menyiapkan sejumlah solusi mulai dari bantuan pendanaan hingga legalitas untuk mendorong capaian
sertifikasi kelapa sawi tatau Indonesian Sustainable palm oil (ISPO), khususnya untuk kebun milik rakyat yang saat ini hanya 0,1%.

Apalagi, area sawit milik petani rakyat mencakup 40% dari total luas kebun sawit di Indonesia yang mencapai 14 juta hektare.

Willistra Danny, Asisten Deputi Perkebunan dan Hortikultura Kementerian Koordinator Perekonomian, mengatakan pemerintah tengah menyempurnakan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit, sebagai aturan perubahan dari Peraturan Menteri Pertanian No.11/2012 tentang Indonesia Sustainable palm oil (ISPO).

Dia menjelaskan ada beberapa poin yang menjadi fokus perubahan yang tercantum dalam Perpres tersebut.

Pertama, aturan tersebut menunjukan sistem sertifikasi yang tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah. Pasalnya dalam penyusunan aturan tersebut semua pihak sudah dilibatkan mulai dari pemerintah, pelaku usaha, petani, dan praktisi.

Kedua, mewajibkan seluruh pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi. Sebelumnya syarat wajib hanya dibebankan kepada perusahaan swasta dan negara, sementara petani belum diwajibkan.

Ketiga, penyusunan aturan melibatkan pemantau independen, kelompok masyarakat atau praktisi untuk mengawasi bagaimana peraturan sertifikasi tersebut di jalankan.

Adapun, pemerintah menargetkan seluruh kebun sawit dapat mengantungi sertifikat ISPO pada 2020 mendatang.

Dia mengatakan pemerintah sudah mengantisipasi atas konsekuensi mewajibkan petani untuk melakukan sertifikasi.

Beberapa antisipasi atau keringanan tersebut adalah memberikan waktu transisi selama lima tahun agar petani beradaptasi.

“Melakukan sertifikasi itu ada biayanya. Untuk periode pertama pemerintah akan memberikan bantuan petani untuk pembiayaan mulai dari audit hingga sertifikasi. Kami akan carikan pendanaan baik dari pemerintah atau lembaga resmi lain” kata Wili, Kamis (25/7).

Menurutnya, apabila petani melakukan sertifikasi secara individu memang masih sulit. Untuk itu, petani didorong untuk berusaha secara berkelompok atau membuat kelembagaan yang jelasatau koperasi.

“Dengan begitu akan Iebih murah biaya sertifikasi. Itu yang kita minta. Kalau mereka lebih mampu, silahkan. Karena kami ingin mengubah petani menjadi lembaga, jadi usahanya seperti korporat,” jelasnya.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian Dedi Junaedi menambahkan untuk pendanaan guna membantu sertifikasi nanti diusulkan untuk diambil dari dana peremajaan kelapa sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit(BPDP KS). “Pendanaan [untuk sertifikasi) selama ini belum ada, atau hanya untuk peremajaan sawit rakyat.”

ALOKASI KHUSUS

Sebelumnya, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung berharap BPDP-KS diharapkan dapat mengalokasikan dana khusus untuk sertifikasi ISPO bagi kebun sawit milik petani swadaya.

“Kalau dibebankan ke petani, membeli pupuk saja masih susah. Bagaimana kami bisa mengeluarkan uang ratusan juta untuk mengaudit kebun?” jelasnya.

Bantuan dana untuk program peremajaan sawit rakyat (PSR) dari BPDP-KS pun disebut Gulat tidak bisa digunakan untuk pengajuan ISPO. Hal ini dikarenakan dana peremajaan hanya mencakup fase penumbangan sawit usia tak produktif (PO) dan fase perawatan tahun pertama (PI) sampai perawatan tahun ketiga

(P3), sementara ISPO diajukan setelah tanaman sawit memasuki fase menghasilkan, ketika usianya sekitar 3,5 sampai 4,5 tahun.

“Hakikat dibentuknya BPDP-KS adalah menghimpun dana dari sawit untuk kepentingan sawit. 42% kebun sawit itu milik petani, jadi salah satunya [alokasi dana) untuk petani. Salah satu kebutuhan petani adalah pengurusan sertifikasi ISPO, dengan demikian memfasilitasi hal ini adalah salah satu kewajiban BPDP-KS,” ujarnya.

Selain usulan dana khusus ISPO, langkah yang bisa diambil untuk menjawab permasalahan biaya yang dihadapi petani swadaya adalah melalui sinergi dengan pabrik pengolah sawit.

Gulat berpendapat hal ini bakal berdampak positif karena pabrik juga perlu memastikan bahwa tandan buah segar (TBS) yang mereka olah berasal dari kebun yang mengedepankan aspek keberlanjutan.

“Pabrik juga akan kesulitan jika petani mitranya tidak tersertifikasi ISPO karena rantai pasok tidak clear and clean. Oleh karena itu perusahaan A misalnya, bisa melakukan inventarisasi kebunsawitdi sekitarnya, pemiliknya digandeng dan dibiayai dan dimotivasi untuk segera melakukan ISPO,” kata Gulat.

Presiden Direktur PT Mutuagung Lestari (lembaga sertifikasi kelapa sawit) Arifin Lambaga mengatakan dalam penerapannya, skema sertifikasi ISPO saat ini masih menemui sejumlah masalah, terutama yang terkait dengan aspek legalitas.

Saat ini, jumlah perusahaan yang telah tersertifikasi masih berjumlah 502 kurang lebih 29,3% atau sekitar 4,1 juta ha dari total luas kebun sawit14,03 juta hektare yang terdapat di Indonesia.

Sebanyak 35% di antaranya atau total sekitar 167 adalah sertifikasi yang dikeluarkan oleh PT Mutuagung Lestari.

“Dalam menghadapi masalah ini, skema ISPO kedepannya diharapkan dapat lebih menekankan pada pull factor yaitu mendorong kepastian pasar dan harga yang lebih kompetitif dibandingkan dengan hanya berkutat pada push factor berupa penetapan regulasi dan punishment,” jelasnya.

Nantinya, skema ini diharapkan membentuk sebuah rantai pasok, bukan hanya sebuah kewajiban, tetapi perusahaan juga membutuhkannya untuk mendapatkan kepastian pasar dan harga yang kompetitif.

Menurut Arifin, adanya kepastian pasar dalam skema ini dapat mendorong keterlibatan perusahaan untuk mengikuti skema ISPO.

 

Sumber: Bisnis Indonesia