Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dipandang diskriminatif dalam perhutanan sosial. Lantaran, melarang sawit dijadikan tanaman perhutanan sosial.

Dosen IPB University Sudarsono Soedomo, Ph.D mengungkapkan bahwa kelapa sawit dan masyarakat adat sebaiknya tidak perlu dipertentangkan karena masyarakat adat tidak ingin konflik dengan siapapun, termasuk dengan pengembang kebun sawit. Banyak pula masyarakat adat yang menjadi bagian dalam pengembangan kebun sawit.

Dia menegaskan, sawit bersifat netral dan tidak pernah memusuhi kelompok masyarakat manapun. “Salah apa bila sawit banyak dikaitkan dengan korporasi. Nyatanya tidak begitu karena bandingkan dengan hutan tanaman yang nyaris 100% dikuasai oleh korporasi,” kata Sudarsono.

Dia menyebutkan sama dengan tumbuhan sawit, korporasi pun sebenarnya netral juga, sehingga tidak perlu dibenci. Hampir semua item yang menempel di tubuh kita adalah produk korporasi.

“Pengembang kebun sawit tidak ingin konfik dengan siapapun, termasuk dengan masyarakat adat. Mereka ingin berusaha secara damai,” tambahnya.

Belakangan timbul persoalan hutan adat dan perkebunan terjadi akibat ketidak jelasan regulasi. “Dalam hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tidak boleh bekerja sendiri. Tapi libatkan semua pihak termasuk pemerintah daerah dan Kementerian ATR/BPN,”ujar dia.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-VIII/2010 disebutkan bahwa ada empat tolak ukur untuk mengukur sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu kemanfaatan sumberdaya alam bagi rakyat, tingkat pemerataan manfaat sumberdaya alam bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumberdaya alam, serta penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumberdaya alam.

“Ada penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Ini jelas berkaitan dengan masyarakat hukum adat,” ujar Sudarsono.

Kemudian dalam Putusan MK Noor 35/PUU-X/2012 jelas menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Sebelumnya Undang-Undang (UU) 5 Tahun 1960 bagian berpendapat huruf a: bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan diatas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah.

Sedangkan UU 41 tahun 1999 Pasal 67 ayat 2, pengakuan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Ia pun mengkritisi Peraturan Menteri LingkunganHidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Dalam aturan ini dibuat lima skema perhutanan sosial yaitu Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, dan Kemitraan Kehutanan.

“Yang menjadi pertanyaan kenapa sawit dilarang dalam skema perhutanan sosial. Jadi, pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat dilarang menanam kelapa sawit di areal hak atau izinnya,” tegasnya.

Pada hal dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2019 Tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan di pasal 10 disebutkan bahwa Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis Tanaman dan hewan serta pembudidayaannya.

 

Sumber: Sawitindonesia.com