Oleh
Dr. Ir. Tungkot Sipayung (bagian ketiga-selesai)

SDGs Industri Sawit Indonesia

Kebun sawit juga merupakan tanaman konservasi tanah dan air baik struktur dan jangkauan canopy, sistem perakarannya yang membentuk biopori di dalam tanah (Harahap, 1999, 2007) yang berperan dalam tata air wilayah seperti pengurangan erosi tanah dan konservasi air. Selain itu, tanaman kelapa sawit juga tergolong tanaman relatif hemat air (Coster, 1938, Pasaribu, 2012). Dalam konteks ini kebun sawit berkontribusi pada SDGs-6 dan SDGs-15.

Minyak sawit selain untuk bahan pangan, juga merupakan bahan energi terbarukan (biofuel) baik biodiesel, butanol, bioavtur dan lain-lain. Pencampuran atau penggantian BBM fosil dengan biofuel sawit mengurangi emisi sekitar 62 persen (European Commission J.R, 2012). Selain minyak sawit, kebun sawit juga menghasilkan biomas (tandan kosong) dalam jumlah lebih besar (5 kali lipat) dari produksi minyak sawit. Biomas sawit tersebut merupakan bahan baku energi biofuel generasi kedua (second generation biofuel) yang jauh lebih hemat emisi.

Selain untuk biofuel, biomas tersebut juga menjadi bahan baku bioplastik untuk menggantikan petroplastik. Sebagaimana sebagaimana diketahui, saat ini masyarakat dunia termasuk Indonesia menghadapi masalah sampah petroplastik yang mencemari sungai dan laut. Saat ini Indonesia termasuk urutan kedua terbesar (setelah Cina) yang mengkonsumsi dan memproduksi sampah petroplastik. Bioplastik sawit yang dapat terurai secara alamiah menjadi solusi untuk itu. Dengan demikian, industri sawit juga menyumbang pada pencapaian SDGs-7, SDGs-12, DGs-13, dan SDGs-14.

Kebun sawit menghasilkan minyak sawit dengan produktivitas sekitar 10 kali (paling efisien) dari tanaman minyak nabati lainya. Oleh karena itu dalam konteks penyediaan minyak nabati global kebun sawit menghemat emisi, menghemat deforestasi dunia, menghemat penggunaan air dan energi sehingga berkontribusi pada pencapaian SDGs-12. Secara keseluruhan, industri sawit berkontribusi pada 14 SDGs dari 17 SDGs. Kontribusi tersebut masih dapat ditingkatkan, diperluas dan dengan kualitas yang lebih baik ke depan sehingga industri sawit Indonesia dapat memperbesar kontribusinya dalam mencapai SDGs 2015-2030.

Namun demikian sebagaimana terjadi pada seluruh sektor pembangunan disetiap negara, meskipun pertanian menghasilkan empat jenis manfaat dalam ekosistem, juga menimbulkan berbagai eksternalitas negatif (social cost) terhadap lingkungan seperti yang disuarakan pegiat lingkungan. Termasuk eksternal negatif adalah polusi pupuk dan limbah. Berbagai studi menunjukkan bahwa sekitar 60-70 persen pupuk yang digunakan tidak terserap oleh tanaman kelapa sawit dan tercuci mencemari lingkungan dalam bentuk emisi nitrogen oksida. Demikian juga penanganan limbah disetiap PKS, sebagian besar masih belum terkelola dengan baik dan menimbulkan pencemaran pada lingkungan.

Dampak negatif tersebut dapat diminimumkan dengan perbaikan manajemen dan teknologi. Aplikasi digitalisasi farming dan nano teknologi pemupukan dapat meminimumkan dampak negatif pupuk pada lingkungan, efektifitas pemupukan, sekaligus meningkatkan produktivitas. Demikian juga aplikasi teknologi methane capture pada limbah PKS, selain meminimumkan dampak negatif terhadap lingkungan, menurunkan emisi juga men-generate produk baru. Perbaikan dan aplikasi teknologi dan manajemen pada industri sawit secara keseluruhan menjadi kunci untuk memperbaiki SDGs industri sawit ke depan.

 

Sumber: Sawitindonesia.com